Setiap
utusan Tuhan, mulai dari para pewarta injil, baik awam maupun religius, para imam,
para rasul, uskup dan paus dalam Gereja Katolik diyakini sebagai orang-orang
yang dipilih secara khusus untuk bekerja di kebun anggur Tuhan. Mereka
dipanggil secara istimewa bukan untuk tinggal di tempat tetapi diutus pergi ke mana
saja ke seluruh dunia guna melanjutkan karya keselamatan Tuhan untuk semua
orang. Namun sejak awal berdirinya Gereja oleh para rasul tugas perutusan ini
bukanlah pekerjaan yang enteng karena tidak semua orang, suku atau bangsa
menerima kedatangan dan misi pelayanan mereka.
Tuhan
Yesus tahu akan tantangan itu, sebab Ia sendiri juga telah mengalami penolakan
yang sama bahkan di kampung asalnya sendiri. Namun untuk membesarkan hati para
murid-Nya Ia memberi mereka nasihat bahwa kalau mereka ditolak, itu sama dengan
menolak Dia yang mengutus mereka. Karena itu para murid atau semua utusan Tuhan
tak perlu berkecil hati ketika menghadapi penolakan (Luk 10:13-16). Jika ditolak karena
membawa kabar gembira dan kebenaran-Nya. pengalaman itu menjadi kesempatan yang
indah bagi para murid untuk mengambil bagian dalam pengalaman Tuhan sendiri
yang juga pernah mengalami penolakan dari bangsa-Nya sendiri.
Menolak
atau meninggalkan Tuhan pernah dilakukan oleh bangsa Israel, terutama dosa ketidaktaatan
pada kehendak Allah. Dalam bacaan pertama, nabi Barukh mengakui hal ini dengan
mengatakan: “Memang kami telah berdosa
kepada Tuhan. Kami tidak taat kepada-Nya dan tidak mendengarkan suara Tuhan,
Allah kami, untuk mengikuti segala ketetapan Tuhan yang telah ditaruh-Nya di
hadapan kami. Semenjak hari Tuhan membawa nenek moyang kami keluar dari negeri
Mesir hingga dengan hari ini kami tidak taat kepada Tuhan, Allah kami.
Sebaliknya Tuhan telah kami alpakan karena tidak mendengarkan suara-Nya” (Bar
1:17-19). Sejarah Israel telah membuktikan bahwa mereka sering tidak tahu
berterima kasih kepada Tuhan, yang telah membebaskan mereka dari penindasan di
Mesir dan membawa mereka ke tanah terjanji. Mereka menolak bahkan meninggalkan
Tuhan lalu percaya kepada dewa-dewi asing. Sikap dasar ini tampaknya sudah
menjadi habitus dan terwaris secara turun temurun. Menolak utusan Tuhan sama
dengan menolak Tuhan. Para utusan ini menjalankan tugas perutusan bukan atas
kemauan sendiri tetapi atas kehendak dan perintah Tuhan sendiri.
Pada
zaman ini penolakan dan penghujatan terhadap Tuhan Yesus Kristus semakin
menjadi-jadi, termasuk menolak semua pengikutnya sebab sudah terus menerus mendapat
cap sebagai “orang kafir”. Hemat saya tak perlu kita berkecil hati terhadap
penolakan-penolakan itu, karena Tuhan yang kita percaya tetap Tuhan yang telah mengorbankan
hidup-Nya untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Barangsiapa percaya dia akan
selamat. Barangsiapa tidak percaya hukuman telah tersedia baginya.