Ketika menulis
renungan ini saya teringat tiga pendiri Kongregasi Cinta Kasih berikut ini:
Pertama, St. Theresa dari Calcutta yang diberi gelar kudus 4 September 2016 oleh Paus Fransiskus di Roma. Saat ia dipanggil untuk menghimpun orang-orang miskin di kota Calcutta dan sekitarnya ia selalu mendengar suara yang mengatakan: Aku haus. Dalam refleksinya ia berkesimpulan bahwa suara itu adalah suara Tuhan sendiri yang memanggilnya untuk menghimpun orang-orang miskin, cacat, orang-orang terbuang, yang kelaparan yang tergeletak di jalan-jalan kota Calcutta. Ketika ia memulai pekerjaan itu Muder Teresa menulis dalam buku hariannya bahwa tahun pertamanya penuh dengan kesulitan. Ia tidak memiliki penghasilan dan harus memohon makanan dan persediaan. Teresa mengalami keraguan, kesepian dan godaan untuk kembali dalam kenyamanan kehidupan biara. Ia menulis dalam buku hariannya:
“Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat
pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras.
Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai
lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan
raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto
datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi
milikmu lagi,’ kata sang penggoda... Akhirnya ia menang melawan godaan itu dan
mengatakan: “Ini sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin
tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku.
Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya”.
Ia pun terus mengembangkan karyanya. Pada tahun 1996, ia
menjalankan 517 misi di lebih dari 100 negara. Selama bertahun-tahun, Bunda
Teresa mengembangkan Misionaris Cinta Kasih untuk melayani "termiskin dari
yang miskin" di 450 pusat di seluruh dunia. Rumah Misionaris Cinta Kasih ia
dirikan di mana-mana guna menampung orang-orang termiskin dari yang miskin.
Kedua, ada juga sebuah biara di Asia, misinya mirip dengan visi misi biara
Cinta Kasih Mother Teresa yakni di Korea Selatan, yang didirikan oleh Pastor
Yohn Oh Woong Jin bernama Kkottongnae – aksi cinta kasih yang sudah tersebar di
beberapa negara. Biara ini menghimpun orang-orang miskin, cacat mental dsb dan
mendidik mereka untuk bisa menolong satu sama lain.
Ketiga, Missionaris of the Poor (MOP) yang didirikan oleh pastor Richard Ho
Lung di Jamaica. Ia menghimpun para bruder dan melayani orang-orang cacat serta
miskin, khusus untuk laki-laki (dua biara terakhir ini memiliki cabangnya di
Labuan Bajo). Keduanya telah memiliki hampir ribuan anggota dalam menjalankan
misi cinta kasih.
Melalui
para pendiri kongregasi-kongregasi ini Tuhan tetap memanggil orang-orang yang
memiliki keprihatinan terhadap orang-orang terpinggirkan, cacat dan miskin,
yang lapar dan menderita agar mereka mengalami kasih yang sempurna dari Tuhan.
Sebuah panggilan yang menggugat semua orang lain, yang mungkin dalam hidup ini, lebih memilih
kenyamanan, kemewahan, keuntungan, kekayaan dst.
Salah
satu alasan mereka memilih cara hidup demikian tentu terdorong oleh sabda Yesus
sendiri yang hari ini mengatakan: “Tetapi
apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang
cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia,
karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau
akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar." (bdk
Luk 14:12-14); dan oleh kesaksian hidup Tuhan sendiri “yang rela menjadi miskin
dan menderita untuk menyelamatkan kita, manusia yang berdosa ini”.
Di
sekeliling kita ada begitu banyak orang miskin dan menderita, baik fisik maupun
jiwa, karena pelbagai persoalan yang mendera pikiran, perasaan dan kehidupan
ekonomi. Mereka ini memerlukan pertolongan sesamanya yang memberi perhatian,
dukungan, pertolongan dst. Santu Paulus dalam bacaan pertama mengatakan: “Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada
penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena
itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam
satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri
atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang
seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (bdk
Fil 2:1-4). Dalam nasihatnya ini St. Paulus mendorong kita agar rela
merendahkan diri untuk membantu sesama kita yang miskin, lapar dan haus. Tak ada
manfaatnya jika kita berbicara tentang persatuan, sehati sepikir kalau hal itu
tidak terwujud dalam perbuatan kita untuk menolong sesama seperti yang
dilakukan oleh tiga pendiri kongregasi di atas.