Setiap
kali orang Kristen – Katolik (di Indonesia) hendak merayakan Pesta Natal, lebih lagi menjelang pilkada
DKI Jakarta, 15 Pebruari 2017, sejak nama para calon diusulkan, selama masa
kampanye bahkan hingga hari pemungutan
suara “cap kafir” menjadi makanan hariannya. Sebab golongan radikal dengan seenaknya mengatakan jangan pilih orang
kafir, jangan mengucapkan selamat kepada orang kafir, sebab hal itu tidak
sesuai dengan ajaran agama kita. Cap ini memang sungguh menyakitkan, karena
ternyata bagi mereka, kehadiran minoritas Kristen di negeri ini tak punya
artinya apa-apa. Para pahlawan yang beragama Kristen yang telah sama-sama memperjuangkan
kemerdekaan dianggap tak punya jasanya bagi negeri ini, karya para menteri kaum
minoritas pada zaman Soekarno, Soeharto dan presiden lainnya yang telah
mengambil bagian untuk memajukan negeri sampai berusia 72 tahun ini semuanya
tak berarti, Ahok yang telah berjasa untuk membangun Jakarta dengan pelbagai
kemajuan yang luar biasa, bagi mereka semuanya itu seperti debu tanah yang
patut diinjak-injak, tak berguna karena satu hal yaitu “KAFIR”. Indonesia Raya
dengan dasar negaranya, PANCASILA, yang syah menurut undang-undang dianggap
sebagai kesalahan fatal dari para fundator negara ini. Kaum radikal itu meskipun
baru lahir kemarin tetapi merasa diri seperti raja di atas semua penguasa
negeri ini, seenaknya berteriak di jalanan jangan pilih orang kafir.
Tuhan
Yesus dalam Injil hari ini mengajar para murid-Nya supaya berlaku baik kepada
semua orang. Salah satu nasihatnya yang menjadi sorotan saya hari ini berbunyi:
“Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya:
Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil!
harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat 5:22). Kalau marah –
dihukum, kalau bilang kafir – dihadapkan ke Mahkamah Agama, kalau bilang jahil –
dibuang ke neraka. Memiliki sifat suka marah dengan orang lain punya hukumannya,
kalau kemarahan itu sampai mencela sesama dengan kata kafir atau jahil
hukumannya jelas lebih buruk lagi karena semua ungkapan itu tidak sesuai dengan
semangat hukum cinta kasih, di mana kita memandang sesama sebagai saudara,
teman atau sahabat. Hubungan yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita adalah
hubungan kasih persaudaraan, bukan hubungan permusuhan dan pertentangan. Asal usul
kita adalah Tuhan sendiri, sebab kita diciptakan sebagai citra-Nya, dari satu
moyang yang sama, moyang Adam dan Hawa. Karena itu tak satu pun dari antara
kita yang merasa diri super dan tidak memberi hak hidup dan bekerja kepada
orang lain. Orang yang tidak mencintai sesamanya adalah orang-orang yang tidak
beragama dan tidak beriman.
Hidup
dan mati terletak di depan manusia, apa yang dipilih akan diberikan kepadanya,
demikian kata penulis Kitab Putera Sirakh (Sir 15:15-20). Bila kita memilih
hidup akan datang kehidupan, jika kita pilih mati akan datang kematian. Sikap marah
dan mencap sesama dengan kata kafir atau jahil adalah pilihan yang mengundang
maut. Ini adalah sikap dan tindakan yang tidak bijaksana dalam menghayati hidup
keagamaan. Jangan lupa, mata Tuhan tertuju kepada orang-orang yang takwa
kepada-Nya, bukan orang yang congkak hati atau sombong.
Karena
itu hiduplah dalam hikmat Allah agar kita selalu dituntun oleh Roh-Nya supaya kita
bisa mengerti segala rahasia yang tersembunyi dalam diri Allah. Dengan memahami
rahasia-rahasia itu jalinan kasih antara kita dengan Tuhan semakin intens dan
dalam, tindakan kasih kita kepada sesama dapat berjalan sesuai dengan kehendak
Allah sendiri.
Marah, berkata kafir dan jahil mengundang hukuman dan mala petaka! Awas, mulutmu
adalah harimaumu.