Ketika
saya menulis renungan ini saya teringat akan isi Mazmur 8 yang mengagumi dan
memuliakan Tuhannya dengan kata-kata ini: “Jika
aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang
Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak
manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir
sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau
membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di
bawah kakinya”.... (Mzm 8:4-10). Mengapa saya teringat akan ungkapan
pemazmur itu saat menulis renungan ini?
Bacaan
pertama dari Kitab Kejadian hari ini mengisahkan lanjutan dari cerita
penciptaan dunia dari bacaan kemarin. Mulai hari kelima Tuhan menciptakan
makhluk hidup yang bergerak hingga puncaknya pada kisah penciptaan manusia yang
berbunyi: "Baiklah Kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas
segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej 1:26). Sesudah segala
makhluk yang lain diciptakan, Tuhan menciptakan manusia, makhluk tertinggi, sesuai
rupa-Nya. Setelah manusia ada ia langsung diberi hak oleh Tuhan untuk menguasai
seluruh mahkluk hidup lainnya dan boleh memanfaatkan semua itu untuk
kesejahteraan lahir dan batinnya. Dalam keheranan dan kekagumannya pemazmur
bertanya: siapakah manusia sehingga Kau mengingatnya dan siapa dia sehingga
Engkau mengindahkannya.
Dilihat
dari unsur lahiriah, menurut kisah Kejadian, asal usul manusia hanyalah debu
tanah belaka. Manusia itu bisa hidup karena ada hembusan nafas kehidupan Allah
yang diterimanya. Jika tidak demikian maka manusia itu sama tingkatannya dengan
makhluk hidup yang lain. Namun manusia diciptakan sedemikian rupa karena Allah
telah memiliki rencana yang hebat atasnya. Manusia ditugaskan untuk meneruskan
apa yang telah dikerjakan Tuhan agar dunia menjadi semakin baik dan sempurna.
St. Paulus mengatakan: “Allah menjadikan manusia sebagai rekan kerja-Nya” guna
melanjutkan karya-Nya agar dunia ini menjadi semakin indah dan menarik, supaya
olehnya nama Tuhan semakin ditinggikan. Kata St. Ignatius Loyola: agar nama
Tuhan semakin dimuliakan.
Namun
sayangnya manusia citra Allah dalam diri orang Farisi, menurut kisah Injil
Markus hari ini, bukan lagi menjadi rekan kerja yang baik tetapi rekan kerja
yang selalu mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan mengagungkan hukum-hukum
nenek moyang mereka. Orang Farisi mempersoalkan cara makan para murid yang
tidak mencuci tangannya sebelum makan. Ini najis menurut hukum nenek moyang. Yesus
mengeritik mereka dan mengatakan: "Benarlah
nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa
ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma
mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat
manusia. Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat
memelihara adat istiadatmu sendiri” (Mrk 7:6-9).
Meskipun manusia itu makhluk dan memiliki kuasa yang besar namun keagungan
dan kemuliaannya sebagai citra Allah diukur bukan dengan melihat kemampuan
manusia dalam memelihara dan menjaga kehormatan diri yang diwariskan oleh nenek
moyangnya, melalui hukum-hukum yang tidak masuk akal, tetapi diukur dari
kemampuannya untuk menjadi rekan kerja Allah yang baik dalam menata dunia
menjadi tempat, di mana cinta kasih itu hidup dan nama Allah semakin dimuliakan
dan ditinggikan.