Mewartakan
Injil dan kebenarannya adalah sabda Tuhan, ia adalah kisah tentang peran Allah
dalam hidup manusia. Sifatnya wajib didengar, dihayati dan dijadikan pedoman
hidup. Maka kalau kita memberitakan Injil, itu tidak sama nilainya dengan berita-berita biasa atas dasar realita
hidup manusia sehari-hari, walaupun kita tahu dalam setiap peristiwa hidup itu
Tuhan selalu ada dan menyaksikannya. Meskipun peristiwa harian manusia itu
benar-benar terjadi, namun ia bukanlah kebenaran yang patut dihayati supaya dijalankan
sebagai pedoman hidup, sebab ia hanyalah sebuah kejadian yang menjadi berita –
cerita biasa. Sifatnya hanya untuk diketahui. Boleh didengar, boleh juga tidak.
Karena
Injil itu adalah kebenaran, maka Injil tidak cuma disampaikan dengan cara
biasa, ia harus disampaikan dengan kekuatan Roh – kuasa Roh Kudus, seperti yang
dilakukan para rasul dalam karya pewartaan mereka pada zaman Gereja perdana.
Dalam hubungan dengan ini, St. Louis de Monfort dan Beato Allan, dalam
autobiografinya masing-masing, menyarankan agar para pewarta Injil hendaknya berusaha
mempersatukan diri mereka dengan kekuatan Roh Kudus sebelum mereka mengajar,
berkotbah atau menyampaikan firman Tuhan. Caranya: berdoa Rosario dan melakukan
meditasi. St. Yohanes Paulus II juga mempraktekkannya. Pendengar bisa merasa bagaimana kuasa sabda itu bisa mempengaruhi mereka dalam hidup hariannya. Mengapa berdoa Rosario?
Saya menganjurkan Anda untuk membaca buku Rahasia Rosario.
Bacaan
pertama hari ini, melalui nabi Yesaya Tuhan mengajak kita agar masing-masing
kita mau berusaha menjadikan hidup dan karya kita sebagai “terang yang merekah
laksana fajar”, bukan hanya dalam kata teristimewa dalam perbuatan. “Aku menghendaki supaya engkau
memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin
yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau
memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”
(bdk Yes 58:7-10)
St.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menyatakan dengan sangat yakin
akan pengalaman imannya akan Yesus Kristus yang tersalib. Ia sendiri sebenarnya
merasa tidak pantas untuk mewartakan sabda Tuhan itu, karena menilai dirinya
sebagai orang yang tidak pantas. Ia mengatakan: “Aku pun datang kepadamu dalam kelemahan, dengan sangat takut dan
gentar”, namun karena yakin akan kekuatan Roh Kudus yang menyertainya maka
ia berani melakukan pelayanan itu (bdk 1 Kor 2:1-5).
Kristus
Yesus telah menjadikan diri-Nya sebagai Terang dan Garam bagi dunia ini melalui
cara hidup, pengajaran dan karya-Nya. Lalu Ia juga menghendaki agar setiap
pengikut-Nya berusaha menjadi “garam dan terang dunia”, dalam kata dan
perbuatan-perbuatan baik, supaya semua
orang yang melihat hal itu sanggup memuliakan Allah (Mat 5:13-16). Sabda
Kebenaran yang berasal dari Allah adalah pedoman hidup. Ia baru bisa bermanfaat
bila para pewarta lebih dahulu menjadi garam dan terang dunia. Dalam upacara
tahbisan imam saya teringat akan sebuah kalimat yang diucapkan Uskup pentahbis
kepada imam baru: hayatilah apa yang kaubaca dan lakukan apa yang
kauhayati......dan untuk itulah setiap imam diperlengkapi dengan kuasa Roh
Kudus yaitu, pada saat Uskup menumpangkan tangan atas kepalanya tanpa
mengucapkan satu kata doa pun. Konsekwensi dari ungkapan dan simbol ini tidak
lain adalah “pewarta harus lebih dahulu menjadi garam dan terang” bagi
sesama di sekitarnya.....