Melayani
tamu dengan memberi tumpangan, semalam atau lebih, adalah hal yang amat biasa
dalam budaya masyarakat kita. Sebelum adanya hotel-hotel, “home stay”, losmen
dll, masyarakat kita biasa menerima tamu dan memberi tumpangan kepada mereka di
rumah pribadinya. Dalam budaya tertentu “tamu
dipercaya sebagai pembawa rejeki dan berkat”, karena itu mereka akan dengan
senang hati mau menerima tamu dan siap memberi tumpangan bila tamu itu ingin
menginap. Tentu berbeda dengan kebijakan Presiden Donald Trump dengan alasan
keamanan, melarang para pencari suaka dan kerja dari negara-negara lain yang
memerlukan bantuan Amerika.
Kitab
Ibrani hari ini mengingatkan kita akan pentingnya memelihara kasih persaudaraan
di antara kita, antara lain dengan nasihat “jangan
enggan memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa
orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” (bdk Ibr
13:1-8). Menjamu malaikat – pernyataan ini hampir sama dengan budaya yang
mengatakan: tamu itu pembawa rejeki. Apa alasan penulis Kitab ini
mengatakan demikian?
1. Ia
memandang sesama manusia sebagai saudara satu sama lain, karena kita adalah
ciptaan Allah yang menduduki tempat terhormat di antara ciptaan Allah yang lain
(citra Allah, rekan kerja Allah, anak-anak Allah).
2. Manusia
adalah pendatang di bumi ini, bukan pemilik. Segala sesuatu adalah milik Tuhan.
Membagikan sebagian kecil dari milik Tuhan ini kepada sesama adalah bagian dari
tindakan seperti menjamu para malaikat. Suatu tindakan yang menyenangkan dan
membahagiakan baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain.
3. Bila
kita berkelebihan itu bukan milik kita, bila kita berkekurangan juga bukan
milik kita. Memberi tumpangan karena kasih itu adalah dasar utama dari memberi
tumpangan kepada sesama. Kita berbuat baik bukan karena kita mempunyai lebih
atau tidak berbuat baik bukan karena kekurangan.
4. Tuhan
itu penolong dalam kelebihan dan juga dalam kekurangan kita. Hati yang terbuka
kepada sesama adalah bagian dari rahmat yang patut kita bagi-bagi untuk
membahagiakan orang lain.
Meski di pihak lain kita
melihat bahwa ada juga manusia yang tidak mau membuka dirinya kepada hal-hal
baik, terutama tidak mau membuka diri kepada keselamatan yang ditawarkan Tuhan
kepada mereka. Salah satu contoh yang paling buruk adalah cerita penulis Injil
Markus hari ini. Herodes dan keluarganya sangat membenci Yohanes Pembaptis. Saking
getolnya Yohanes Pembaptis mengeritik kejahatannya, Herodes membelenggu Yohanes
Pembaptis di dalam penjara. Tidak puas dengan cara itu, istrinya Herodias dan
anaknya meminta kepala Yohanes sebagai hadiah atas tarian anaknya di hari ulang
tahun Herodes (Mrk 6:14-29).
Mereka bersekongkol tidak mau
menerima nabi ini ke dalam kebersamaan ciptaan yang patut dihargai sebagai
saudara, citra Allah dan sebagai orang Yahudi. Mereka menganggap Yohanes
sebagai orang jahat, pengganggu kenyamanan karena wartanya yang kritis. Sikap yang
sama juga mereka tujukan kepada Yesus. Mereka menolak-Nya sebab takut pada
kehadiran orang benar ini. Inilah sikap
menutup diri dari orang-orang yang tidak mau diganggu “statusquo”-nya, karena
kekuasaan, jabatan dan gengsi serta jaga “image”.
Mereka tidak mau memberi tumpangan kepada orang lain dalam diri dan lingkungan
mereka karena takut. Orang baik dilihat sebagai orang jahat atau orang jahat
tidak mau menerima orang baik. Herodes memang pemimpin yang jahat sehingga
tidak mau menerima Yesus dan Yohanes Pembaptis.