Di
awal karya saya di sebuah paroki kota, saya mendapat giliran untuk melayani misa
harian di sebuah komunitas para suster yang mengasuh anak-anak bisu tuli dan buta.
Yang mengikuti perayaan misa itu bukan hanya para susternya tetapi juga semua
anak-anak asuhan mereka. Selama minggu pertama dalam pelayanan itu, saya merasa
kaku untuk menyampaikan homili singkat, saya memandang ke bagian kanan di situ
berkumpul semua yang tuna rungu dan ke kiri di situ berkumpul semua yang buta. Saya
merasa ikut bisu, kehilangan kata-kata untuk berbicara. Meskipun yang buta
semuanya pandai menyanyi dan menjawab aklamasi-aklamasi dalam ekaristi, tetapi
semua yang tuna rungu hanya memperhatikan saya berbuat apa dan sampai di mana
upacara itu berjalan. Yang buta juga pandai membaca dengan huruf braille
dengan artikulasi yang jelas dan mantap. Yang membuat perayaan harian
itu selalu meriah ketika masuk doa bapa kami. Yang buta mengucapkannya dengan
terang dan jelas tetapi yang bisu semuanya seperti memakai bahasa roh, gaduh
tetapi meriah serta mengesankan, sebab saya sendiri sudah akrab dengan bahasa
roh ketika mengikuti persekutuan doa kharismatik. Atas dasar pengalaman inilah
saya memberi judul renungan ini: Kemeriahan Para Tuna Rungu.
Si
tuna rungu dalam cerita injil hari ini tahu bahwa ia memiliki kekurangan: tidak
bisa mendengar dan tidak bisa berbicara walaupun ia ingin melakukannya. Secara psikologis
ia sangat menderita sebab tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun selain
memakai bahasa isyarat. Dalam keadaan seperti ini ia dan keluarganya rindu agar
si bisu tuli ini bisa disembuhkan – dibebaskan dari keterikatan yang disebabkan
oleh cacatnya. Mereka percaya Yesus dapat membebaskannya. Yesus menerima orang
itu dan membebaskan si bisu itu hanya dengan mengucapkan kata: Efata – terbukalah! Sejak saat itu
orang bersangkutan tidak lagi meriah dalam “bahasa rohnya dan isyaratnya”
seperti pengalaman saya di atas tetapi bahasa yang jelas seperti orang
sehat lainnya. Dalam peristiwa ini Tuhan membebaskan ikatan pada lidah dan
penyumbatan pada telinga akibat pembentukan bawaan yang tidak sempurna sejak
dalam kandungan ibu. Sesudah sembuh, orang itu tidak lagi memakai bahasanya
sendiri (dalam roh dan isyarat) melainkan bahasa biasa. Dengan demikian dalam
perjumpaan dengan sesama dan Tuhan, tidak ada lagi ungkapan kemeriahan yang
terasa semu. Semuanya jelas dan dapat dimengerti (bdk Mrk 7:31-37)
Dalam
bahasa muslihatnya setan telah memperdaya Hawa dan Adam untuk melanggar
perintah Tuhan. Ketika keduanya tahu bahwa mereka telah bersalah mereka
bersembunyi di antara pohon-pohon di taman Eden. Mereka merasa seperti tak
berdaya, merasa takut – gugup untuk berjumpa dengan Tuhan. Mulut mereka terasa
seperti tersumbat – bisu, tidak mampu mengatakan apa-apa kepada Tuhan selain
bersembunyi diri, malu karena cacat dosa yang telah mereka lakukan (Kej 3:1-8).
Perasaan seperti ini memang terjadi pada setiap manusia yang berbuat dosa, mereka
diserang rasa bersalah seperti tidak mampu berkata-kata, berdoa, selain hanya menyampaikan
keluhan yang tak terucapkan – bahasa bisu.
Jika
kita berdosa, pikiran dan hati kita merasa tidak nyaman, kita tidak sanggup
berdoa atau berkomunikasi secara baik dengan Tuhan dan sesama, maka menghindari
dosa adalah satu-satunya jalan untuk menjaga hubungan yang baik itu.