Betapa banyak orang di jagat
raya ini yang mengalami duka demi duka, seolah-olah sambung menyambung tiada
hentinya. Entah itu terjadi pada orang beriman maupun pada orang yang tidak
beriman, pada orang baik maupun pada orang jahat. Mala petaka itu datang kadang-kadang
tidak pandang muka, terjadinya tak terduga. Misalnya: baru-baru ini 5 anak laki-laki
SMK dari salah satu sekolah di Labuan Bajo, Komodo, Manggarai Barat, Flores,
Indonesia sedang duduk di pinggir sebuah jembatan sambil makan mie. Tiba-tiba
saja sebuah dumptruck tanpa muatan meluncur begitu cepat dari arah selatan menyambar
ke 5 anak ini. Kelimanya mati di tempat dan ada jenasah yang terlempar ke dalam
sungai. Siswa-siswa ini adalah anak-anak dari satu keluarga besar yang masih
berhubungan keturunan darah keluarga satu sama lain. Keluarga-keluarga ini
sungguh seperti jatuh dan tertimpa tangga. Tragis dan mengenaskan. Dari olah
TKP (tempat kejadian perkara) mereka tidak bersalah sedikit pun sebab mereka
berada di luar jalan. Tetapi mengapa bisa terjadi peristiwa seperti itu? Apakah
Tuhan menghukum mereka atau keluarganya? Secara akal sehat tak bisa dijelaskan.
Semuanya misteri. Memang, banyak kejadian serupa di dunia ini yang tak bisa
dijelaskan. Sungguh-sungguh misteri!
Kitab Suci menjelaskan kepada
kita kejadian-kejadian serupa dengan mengambil tokoh Ayub, seperti yang kita baca
dalam pertama ekaristi hari ini. Ayub dan keluarganya paling kaya dan saleh
dari antara keluarga lainnya. Meski demikian setan mengincar dia untuk dicobai.
Menurut ceritanya, Tuhan mengizinkan setan mencobanya. Apa yang terjadi? Dalam tempo
singkat segala kekayaannya hilang, anak-anaknya tewas karena dibunuh para
musuhnya. Ia jatuh miskin dalam sekejap mata. Ayub sungguh jatuh seperti
tertimpa tangga. Ia bukan saja kehilangan harta tetapi juga anak-anaknya (bdk
Ayb 1:6-22). Tujuan pencobaan oleh setan supaya Ayub murtad, menjauh dari Tuhan
dan tidak diselamatkan. Dari peristiwa ini kebenaran apa yang perlu kita pelajari?
1. Allah
tidak mencoba manusia. Allah tahu kelemahan manusia dan Allah tidak perlu
mencoba anak-anaknya. Semua tulisan perjanjian lama mengatakan Allah mencoba
manusia, demikianpun pikiran semua orang beriman. Tetapi sesungghnya itu hanya
tafsiran para penulis Kitab Suci yang tidak mengerti tentang penyelenggaraan
Ilahi.
2. Allah
mengizinkan setan untuk mencobai manusia, agar dari penderitaan itu manusia
belajar tentang keterbatasannya, kerapuhannya dan tidak sombong lalu meremehkan
peran Tuhan dalam hidupnya. Ayub memang tidak sombong tetapi dengan pencobaan
ini dia belajar untuk semakin mengandalkan Tuhan dan semakin meneguhkan
imannya.
3. Setan
tidak sanggup meruntuhkan iman Ayub (manusia) yang mengandalkan Tuhan dan yang setia
pada Tuhan apa pun masalahnya.
4. Melalui
penderitaan manusia hendaknya manusia belajar percaya kepada Tuhan dan mengerti
tentang misteri penderitaan Yesus Kristus untuk keselamatan manusia
5. Melalui
penderitaan manusia belajar mengambil bagian dalam penderitaan Kristus untuk
menebus dosa dunia, dosanya sendiri dan sesama manusia.
Para murid, didorong oleh
pikiran duniawi, bertengkar satu sama lain tentang kedudukan yang bakal
diterima dari Tuhan Yesus jika Yesus membentuk kerajaan baru, menggantikan
kekuasaan yang ada. Pikiran ini tentu lahir dari pandangan umum bahwa kalau
mereka memiliki kedudukan tinggi, kekayaan dan kekuasaan, mereka akan hidup
jaya, tanpa susah dan derita, sebagaimana yang mereka lihat pada pemerintahan
yang ada saat itu. Mumpung mereka mengenal dan menjadi murid orang yang hebat
seperti Yesus maka, dalam pikiran manusia, segala kuasa di bumi ini akan
diserahkan kepada orang-orang dekat-Nya.
Jawaban Yesus terhadap situasi
itu tentu mengejutkan. Yesus menempatkan seorang anak di tengah-tengah mereka lalu
mengatakan: "Barangsiapa menyambut
anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia
menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian,
dialah yang terbesar.” Menjadi hebat dan besar di antara orang lain bukan
dengan mencari jabatan tinggi melainkan dengan bersikap rendah hati dan siap
melayani. Menjadi besar bukan dengan bersaing dengan memperebutkan kekuasaan
itu, seperti pada pemerintahan duniawi tetapi mau hidup berdampingan dengan sikap
saling berbagi dan melayani (bdk Luk 9:46-50).
Jika semangat kerendahan hati
dan melayani menjadi pedoman utama dalam hidup maka meskipun pencobaan itu datang
dan kita tertimpa tangga seperti Ayub, hemat saya kita tak akan pernah goyah
lagi. Tuhan sudah mendirikan Gereja-Nya di atas batu karang. Tak tergoyahkan !
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.