Segerombolan anak muda
mengadakan wisata ke hutan sambil membawa senapan angin di gendongan belakang,
dengan satu-satu botol bir di tangan kiri dan sebungkus rokok di tangan kanan.
Mereka ingin menembak burung di hutan di mana terdapat banyak burung pergam dan
tekukur yang sedang bertengger di sebuah pohon beringin yang buahnya sangat
lebat. Sambil berjalan mereka bersenda gurau tentang pacarnya masing-masing
dalam kalimat-kalimat yang porno. Biasalah, anak muda. Mereka bilang: “carpe diem” – (manfaatkanlah hari untuk
kesenangan) selagi masih muda, sebab masa muda tidak terjadi dua kali. Dalam perjalanan
sebelum tiba di tempat tujuan, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang gadis
yang mengendarai sepeda motor sendirian. Melihat itu salah seorang dari mereka langsung
berteria: “ayo, carpe diem”! Semua mengerti akan maksud teriakan ini. Mereka
bersama-sama menghadang gadis itu dan menghentikan sepeda motornya. Niat jahat
pun muncul. Mereka memaksa gadis itu masuk ke hutan dan mereka memperkosanya
secara bergilir hingga gadis itu tewas. Beberapa waktu kemudian berita itu
ramai terdengar dan para pemuda itu semuanya ditangkap dan disekap di penjara
hingga belasan tahun. Berita seperti ini sudah beberapa kali disiarkan oleh beberapa
TV swasta di negeri kita. Berita yang mengerikan dan menakutkan.
Penulis kitab pengkotbah
mungkin pernah menyaksikan atau mendengar berita seperti ini dalam hidupnya. Melalui
tulisannya dalam bacaan pertama hari ini ia mengatakan: “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka
pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi
ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!
Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena
kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan. Ingatlah akan Penciptamu pada masa
mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang
kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!", sebelum
matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan
datang kembali sesudah hujan, pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar, dan
orang-orang kuat membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena
berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur” (bdk
Pkh 11:9-12:8)
Penulis kitab ini hendak
mengingatkan manusia, khususnya kaum muda bahwa Tuhan memperbolehkan kita untuk
hidup dalam sukacita, namun semua sukacita itu harus dikendalikan dengan
kesadaran akan tanggung jawab sebagai anak-anak Tuhan yang baik, benar serta
tertib, bukannya untuk berdosa atau melakukan kejahatan dan membuat kita
menderita. Tuhan mahabaik dan memberi manusia kebebasan untuk mengaktualisasi
diri secara optimal demi kebahagiaan dan sukacita sebagai anak-anak Tuhan. Mengingat
Pencipta berarti bertindaklah dengan cara yang dikehendaki-Nya, sebab Ia telah
menciptakan kita dengan mulia, ditebus dengan darah Putera-Nya dan menyertai
hidup kita dengan Roh Kudus-Nya agar kita semua hidup dalam kekudusan dalam
perjalanan menuju hidup abadi.
Tuhan Yesus dikagumi dan
dipuji oleh banyak orang dan mereka mengharapkan Dia menjadi raja Israel. Namun
harapan itu menjadi sirna ketika sabda-Nya digenapi: Ia akan diserahkan kepada
pengadilan manusia. Menderita sedemikian hebat meskipun tanpa salah dan tanpa
dosa. Kebenaran ini mengajarkan kita bahwa sebaik dan sebesar apapun sukacita
yang kita nikmati dalam hidup ini, pada akhirnya kita semua menghadapi
pengadilan terakhir dari Yang Mahatinggi, suatu keadaan yang tak terduga, penderitaan
dan kebinasaan tubuh, yang mesti dilewati sebelum kita mencapai kemuliaan Allah
(Luk 9:43b-45). Semua bentuk sukacita di dunia ini ada batasnya. Batas-batas itu
perlu dijaga sedemikian rupa agar pada akhirnya kita sanggup mempertanggungjawabkan
semua tugas yang kita terima dengan baik dan selamat.
Tuhan sendiri telah datang dan
menunjukkan kepada kita jalan terbaik. Sabda-Nya membimbing kita agar berjalan
di jalan-Nya, jalan kebenaran dan kehidupan. Tiada yang lebih baik dari itu
lagi. amin