Mewartakan kabar gembira tanpa resiko dan
tantangan tak mungkin ada. Mempertahankan kebenaran dari kabar gembira itu juga
tak akan luput dari resiko-resiko negatip dan tantangan. Di wilayah manapun di
bumi ini tak ada satu tempat pun yang dapat memberi kita jaminan akan
kenyamanan kita, ketika kita mewartakan kabar gembira dan memberi kesaksian
tentang kebenaran itu. Tuhan Yesus sendiri ketika kembali ke kampung asal-Nya
saja juga ditantang karena penolakan. Karena takut akan resiko-resiko itu
manusia zaman ini lebih memilih diam dari pada bersaksi, lebih memilih cari
aman dari pada menghadapi serigala-serigala ganas, lebih memilih ngumpet daripada
bertemu dengan orang-orang yang suka mengganggu kenyamanannya. Misalnya, mereka
lebih memilih tinggal di rumah daripada ikut berdoa bersama atau ikut berkatakese.
Paulus tahu akan resiko-resiko buruk
dalam hidupnya ketika dia bertobat dan memilih percaya kepada Yesus. Kemana
saja dia pergi untuk mewartakan kabar gembira, dia ditantang oleh banyak orang,
terutama oleh kaumnya sendiri. Meski demikian ia tak pernah memilih diam atau
ngumpet dalam rumahnya. Dia terus menerus bersaksi dan bersaksi. Kemana saja
dia pergi dia bersaksi, di penjara pun dia bersaksi. Di Yerusalem yang
mengincar nyawanya dia juga bersaksi. Karena ingin mempertahankan kebenaran
kabar gembira itu, ia minta naik banding kepada Kaiser di Roma. Ia tak pernah
takut pada setiap resiko buruk dari kebenaran yang diwartakannya tentang hidup
dan karya Yesus, tentang wafat dan kebangkitan-Nya. Paulus telah mengalami
persatuan mesra dengan Tuhan Yesus Kristus melalui pertobatan-Nya, karena itu
cinta-Nya akan Yesus Kristus, dia pertaruhkan dengan nyawanya sendiri. Dalam
dua suratnya ia menulis: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi sendiri yang hidup
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20a) dan “Celakalah aku kalau
aku tidak memberitakan Injil”(1 Kor 9:16b). Mewartakan kebenaran adalah sebuah
keharusan sebab siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan
sekarang..... Desakan menjadi saksi kebenaran adalah desakan Roh Allah, agar
dunia ini dapat mengenal kebenaran.
Sesudah menyangkal Yesus tiga kali di
saat Yesus ditangkap dan dianiaya sebelum wafat-Nya, Petrus kehilangan muka di
hadapan Yesus dan saudara-saudaranya yang lain. Meskipun, sesudah kebangkitan-Nya,
Yesus beberapa kali menampakkan diri di hadapan semua murid-Nya, Petrus merasa
belum pulih dari kesalahan menyangkal Tuhannya. Ia mengalami hambatan
psikologis atas peristiwa itu, karena penyangkalan itu adalah dosa. Injil hari
ini (Yoh 21: 15-19) menceritakan kisah pemulihan itu. Yesus bertanya sebanyak
tiga kali kepada Petrus dengan pertanyaan yang sama: “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka semua?”. Dengan
jawaban yang sama Petrus menjawab: “Ya
Tuhan, Engkau tahu, aku mengasihi Engkau”. Tiga kali Petrus menyangkal,
tiga kali juga Petrus harus membuktikan kesetiaannya untuk berbalik mencintai. Cinta
yang benar, yang berasal dari hati yang tulus dan jujur adalah modal utama
untuk bersaksi. Petrus harus memberi kesaksian tentang seluruh pengalamannya
bersama Yesus. Melalui kejujuran hatinya untuk menjawab “ya, aku mencintai-Mu”
Petrus dikukuhkan menjadi pemimpin bagi Gereja Awal. Sebagai pemimpin ia harus
bersaksi, apa pun resikonya.
Petrus dan Paulus menjadi rekan kerja
yang hebat. Keduanya saling isi mengisi hingga berada di Roma dan mengalami
tantangan yang besar di bawah pemerintahan kaisar Nero. Namun kerja sama yang
terjalin rapi ini telah menjadikan keduanya sebagai soko guru utama Gereja
Perdana. Dalam hidupnya keduanya telah bersaksi tentang kebenaran kabar gembira
tentang Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat !