Mungkin banyak orang marah jika membaca
judul renungan hari ini, sebab kebanyakan orang lebih suka sebaliknya, yaitu:
ratapanmu akan berubah menjadi nyanyian sukacita. Akan tetapi ada dua alasan
saya memberi judul ini: pertama, judul ini berdasarkan
cerita Kitab Suci hari ini, khususnya dari bacaan pertama; kedua, banyak kejadian di
pelbagai belahan dunia dewasa ini yang menunjukkan kenyataan seperti itu. Bencana
alam merebak di mana-mana, kegiatan terorisme dan perang saudara tak pernah
berhenti bahkan semakin meningkat, perpecahan akibat persaingan politik dengan
memanfaatkan agama, radikalisme semakin menguat. Bukankah banyak dari
saudara-saudara kita di tempat lain yang dulunya bersukacita kini berubah
menjadi penuh ratap tangis.
Tobit seorang tawanan Israel yang berada
di negeri Asyur. Dia orang yang sangat beribadat, taat dan dermawan. Suatu hari
ia ingin menjamu banyak saudara yang miskin dan kelaparan yang berkeliaran di
jalan-jalan. Ia menyuruh anaknya, Tobia, untuk mengundang orang-orang itu. Tetapi
tak menyangka anaknya berjumpa dengan jenasah yang mati dibunuh. Ia balik ke
rumah ayahnya dan menceritakan kejadian itu kepada Tobit dan serentak saat itu
juga Tobit berdiri dan pergi melihat jenasah itu, mengapaninya lalu kemudian nenguburkannya
dengan baik. Sesudah itu ia pulang dan meratapi nasib bangsanya sambil mengingat
kembali peringatan nabi Amos: : "Hari-hari
rayamu akan berubah menjadi hari sedih dan segala nyanyianmu akan menjadi ratapan”
(Tb 2:6b). Berada di tempat pembuangan sebagai tawanan adalah suatu keadaan
yang tidak menyenangkan. Situasi yang penuh ratapan dan penderitaan. Peristiwa seperti
ini telah dialami berulang-ulang dalam sejarah bangsa terpilih, Israel. Sejarah
bangsa lain juga mengisahkan hal yang sama. Singkatnya: suka duka selalu ada,
riang dan sedih silih berganti. Karena itu orang sering mengatakan: kalau
senang jangan terlalu senang, kalau sedih jangan terlalu sedih sebab semuanya akan
datang silih berganti. Namun tetaplah saja berbuat baik.
Injil hari ini menceritakan perumpamaan Yesus
tentang para penggarap kebun anggur yang semula membuat janji untuk menyewanya
saja dan membayar sewaannya sesudah panen. Ketika tuannya mengirim
hamba-hambanya untuk menagih uang sewaan, para penggarap itu membunuh
hamba-hamba itu, bahkan kemudian membunuh anak dari pemilik kebun anggur itu
juga (Mrk 12:1-12). Perumpamaan ini menggambarkan sejarah bangsa Israel yang terus menerus
berlaku seperti itu sampai pada peristiwa penyaliban Yesus sendiri. Sebuah gambaran
bangsa yang tegar tengkuk yang menolak dan membunuh para nabi (hamba-hamba) dan
akhirnya membunuh Yesus. Namun karena cinta Allah itu jauh lebih kuat dari maut
dan rencana keselamatan-Nya harus terwujud dalam diri Yesus, Putera-Nya, maka
batu (Yesus) yang dibuang oleh tukang bangunan (orang Israel) dijadikan Allah
sebagai batu penjuru (batu penopang) bagi berdirinya Gereja Yesus Kristus di
dunia ini. Yesus menjadi batu penjuru, Sang Juru Selamat.