Garam itu aslinya selalu asin. Semua
orang suka garam sebab efek garam membuat semua makanan jadi enak dan
menyenangkan serta berguna bagi kesehatan tubuh. Kalau garam tidak asin lagi
pasti tidak berguna lalu dibuang saja. Kalau pun direndam lagi di air laut ia
bukan jadi garam yang asin tetapi jadi pahit karena tidak mengikuti proses
pengolahan awal ketika air laut jadi garam. Maka garam harus dijaga agar tetap
dan berguna.
Tuhan Yesus tahu manfaat garam sebab Ia
juga hidup sama seperti manusia, setiap hari sejak kecil makan makanan yang
bergaram, kecuali mungkin waktu puasa. Hari ini Ia bersabda: "Kamu adalah garam dunia. Jika garam
itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain
dibuang dan diinjak orang” (bdk Mat 5:1-12). Perbandingan ini tampaknya
sederhana tapi memiliki arti yang sangat dalam secara rohani. Sebagai pengikut
Kristus para murid hendaknya berusaha agar hidupnya sungguh-sungguh memberi
manfaat seperti garam bagi sesamanya. Garam asin yang bisa menyenangkan hidup orang lain. Menyenangkan dalam relasi
sosial, dalam hal kerja sama secara kelompok dan jejaring, dalam hal kerukunan beragama,
dalam membangun kesejahteraan hidup keluarga, dalam mengejar pendidikan yang
baik atau singkatnya para murid hendaknya berusaha menjadikan hidupnya
berkualitas, orang yang sanggup memanfaatkan potensi hidupnya untuk kebaikan
dan kesejahteraan sesama di sekitarnya, di rumah atau pun di tempat di mana ia
bekerja. Seorang yang dapat memberi teladan dalam banyak hal, pribadi yang
berintegritas, dapat dipercaya. Seorang yang hidupnya selalu menjadi kabar baik
bagi sesamanya.
St. Paulus menerjemahkan sabda menjadi
garam itu adalah menjadi seorang yang selalu berpihak pada Tuhan, manusia yang
selalu berkata “ya” saja, yang siap sedia dan taat pada hukum-hukum dan
kehendak-Nya. sebab “Kristus telah
memeterai hidup orang percaya kepada-Nya menjadi milik Allah. Dialah yang
memberi Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah
disediakan untuk kita” (bdk 2 Kor 1:18-22).
Hidup manusia tak bisa memegang prinsip antara
“ya” dan “tidak” lanjut Paulus. Orang yang memiliki integritas adalah seseorang
yang berkata jujur ya atau tidak. Sama halnya dengan menjadi
garam dunia, seseorang harus menjadi garam yang asin bukan sekaligus hambar.
Janda Donata, sudah ditinggalkan
suaminya sejak dua anaknya masih berumur 2 dan 4 tahun. Ia tidak mau menikah
lagi karena ingin memelihara dua anaknya secara baik. Sebagai pegawai
administrasi sekolah gajinya sangat kecil dan tidak bisa membiayai hidup hingga
sebulan. Maka ketika dua anaknya masuk SD ia mencari pekerjaan lain pada sore
hari dengan membuat kue dan menjualnya. Karena ia pandai membuat kue maka ia
mendapat banyak pelanggan. Uang hasil jualan kue itu ia tabung di koperasi
kredit setempat. Ia menyiapkan semua itu untuk pendidikan dua anaknya putra putri.
Di samping usaha itu ketiganya selalu berdoa bersama sambil membaca Kitab Suci
bergantian setiap malam, supaya kedua anaknya mencintai sabda Tuhan. Dengan ini
ia ingin kedua anaknya menjadi anak yang mencintai Tuhan, orangtua dan
sesamanya. Sesudah pulang sekolah ia meminta kedua anaknya sejam atau lebih
membantu dia untuk membuat kue. Saat itu dia pakai waktunya untuk berdongeng
kepada kedua anaknya.
Anak-anak ini kemudian bisa meraih
pendidikan tinggi dengan IP yang bagus. Yang sulung kemudian bekerja di bank
bergengsi sedangkan adiknya bekerja sebagai PNS di salah satu kantor Kementerian.
Keduanya menjadi menjadi teladan di mana mereka bekerja; di tempat kerjanya
masing-masing mereka menjadi garam yang baik bagi sesamanya. Secara kristiani
mereka telah memenuhi permintaan Kristus: menjadi garam dunia, sebab ibu mereka
telah menjadi garam yang asin bagi keduanya.