Sabda-MU, Terang Bagi Jalan-ku…!

Sabda-MU, Terang Bagi Jalan-ku…!
❝ Your Word is A Lamp for My Feet, A Light for My Path. ❞     「Psalm 119:105  —  The New American Bible, Revised Edition (NABRE).」

Alkitab On-Line

 

Alkitab On-Line :

Ketik Kata atau Ayat :

Alkitab    Bahan

Amazon Associates Rotating Banner

Search Engines with English Only

Minggu, Juni 26, 2016

DIPANGGIL UNTUK MERDEKA !



Pada tahun 1978 seorang mantan imam diminta untuk syering tentang pengalaman hidupnya sebagai bapa keluarga kepada para frater di sebuah Seminari Tinggi. Ia bersedia datang dan menceritakan sejujurnya apa yang dialaminya sejak ia melepaskan jubahnya dan mulai membentuk keluarga. “Saya berhenti dari imam sesudah saya gagal menjalin komunikasi yang baik dengan pimpinan saya. Saya kecewa dan berhenti. Sesudah beberapa tahun berhenti saya pun berencana membentuk keluarga dan hidup bersama dengan seorang wanita yang saya cintai. Tetapi hingga belasan tahun kami tidak menerima sakramen perkawinan karena halangan “sakramen imamat” yang belum dibebaskan oleh Paus. Selama itu hati dan jiwa saya terasa kering, karena meski saya berdoa dan mengikuti ekaristi, kami tidak menerima komuni. Seringkali saat konsekrasi saya menangis dalam hati karena saya pernah merasakan keindahan dan sukacita surgawi pada saat saya melakukan tugas itu ketika saya masih hidup sebagai seorang imam. Namun perasaan sedih itu cepat-cepat saya abaikan karena takut dilihat istri saya.”

Selanjutnya banyak kesukaran lain yang saya alami pada saat istri saya mulai hamil dan kemudian melahirkan anak. Meskipun ada sukacita karena kami mempunyai anak, namun dengan demikian semakin banyak keterikatan dan tanggung jawab khusus yang harus saya hayati dan terima secara baru sebagai bapa keluarga. Kelihatannya menyenangkan akan tetapi tidak semudah seperti yang dipikirkan. Ketika ego saya untuk menjadi segala-galanya saya biarkan meracuni pikiran saya, saya seringkali menyakiti hati istri, anak dan keluarga besar kami, baik dari pihak istri maupun keluarga besar saya sendiri, yang belum sepenuhnya menerima keadaan saya. Apa yang tak pernah saya pikirkan, semuanya datang seperti hujan batu yang dilempar ke arah saya, bukan saja karena sesama dan keluarga belum menerima keadaan saya tetapi juga pekerjaan saya yang tidak jelas, bagaimana mengatur hidup rumah tangga dengan segala keperluan sandang pangan, dll.

Kebebasan yang saya rasakan sebagai imam dahulu kini tercabik-cabik dan terbelenggu dalam tugas yang tidak pernah saya pelajari. Saya sering menyendiri ke hutan untuk berteriak di sana dan memanggil nama Tuhan sambil mohon ampun pada-Nya atas kegagalan saya dahulu dan memohon bantuan-Nya untuk hidup baru sebagai bapak keluarga ini. Batin saya sungguh terluka walau kemudian sedikit terobati ketika saya mendapat surat “laisisasi” – (menjadi awam kembali) dan menerima sakramen perkawinan. Meski demikian godaan untuk selalu kembali ke imamat sesewaktu datang kembali. Singkat kata, hidup baru yang saya pilih ini berat, karena itu inilah nasihat saya bagi para frater: “lakukan pengolahan batin secara tuntas di saat masih dalam persiapan menjadi imam, supaya Anda berpikir matang dan dengan penuh kebebasan dapat memilih dan memutuskan untuk hidup di jalan imamat itu, sehingga bila mendapat tantangan, seberat apapun dia, Anda tetap kuat menjalaninya”.

Pengalaman mantan imam di atas merupakan salah satu pengalaman hidup dari para pengikut Yesus Kristus. Ketika tahu ada banyak pengalaman kesukaran dalam hidup kristiani, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia hari ini mengatakan: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan” (Gal 5:13-15). Panggilan menjadi pengikut Yesus Kristus, dalam status hidup apa saja yang kita pilih adalah panggilan untuk menjadi merdeka, sebab kita telah dibebaskan dari belenggu dosa dan maut. Pilihan tepat untuk hidup dalam kemerdekaan sejati adalah berserah diri pada “bimbingan Roh Kudus”. Seperti kata Paulus dalam lanjutan suratnya hari ini: “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (Gal 5:16). Keinginan daging itu merusak tetapi keinginan Roh itu membangun dan membahagiakan, sebab Roh Kudus membimbing kita atas dasar kasih sejati, kasih dari Allah Bapa kita dan Yesus Kristus, Putera-Nya.

Kasih Tritunggal Mahakudus ini telah menarik hati Elisa untuk meninggalkan pekerjaan-Nya mengikuti Elia. Elisa melepaskan bajak dan lembu-lembunya, pergi kepada orangtuanya untuk berpamitan lalu mengikuti Elia. Ia memilih jalan ini dalam kebebasan penuh mengikuti kehendak Ilahi agar dapat menggantikan Elia menjadi nabi bagi bangsa pilihan. Elisa termasuk salah satu nabi besar Perjanjian Lama yang sangat tegas dalam meluruskan hati yang bengkok dan meratakan tindakan yang lekak lekuk dari bangsa Israel (1 Raj 19:16b.19-21). Dalam kebebasan penuh sebagai nabi Tuhan ia sanggup melakukan tugas itu karena ia sendiri penuh dengan kasih karunia Allah.

Ketika Yesus hendak menuju Yerusalem, orang Samaria tidak mau menerima Dia. Yakobus dan Yohanes sangat marah dan meminta Yesus supaya membinasakan mereka semua. Tetapi Yesus menegur mereka dan mengatakan: Ia datang untuk menyelamatkan bukan untuk membinasakan. Lalu Ia melanjutkan perjalanannya dan berjumpa dengan orang-orang yang memiliki pelbagai alasan ini dan itu, ketika Dia memanggil mereka menjadi murid-Nya. Mereka tidak tahu bahwa Yesus Kristus itu Tuhan. Bila Tuhan memanggil seseorang atau lebih untuk mengikuti jalan-Nya berarti Ia ingin menjadikan mereka orang-orang merdeka yang dibimbing oleh Roh-Nya untuk melakukan hal-hal yang baik dalam hidup ini.

Dunia telah dikuasai oleh banyak kejahatan, karena itu Tuhan membutuhkan orang-orang yang dapat dipakai-Nya untuk melanjutkan misi keselamatan-Nya dalam pelbagai bidang kehidupan manusia. Allah ingin agar semua orang yang bekerja di manapun dalam bidang-bidang itu harus menjadi orang-orang yang merdeka, yang bisa membebaskan sesamanya dari pelbagai kejahatan yang telah merajalela itu. Menjadi orang merdeka berarti menjadi orang yang berani menolak kejahatan.   




 

Adhitz Ads