Pada tahun 1978 seorang mantan imam
diminta untuk syering tentang pengalaman hidupnya sebagai bapa keluarga kepada
para frater di sebuah Seminari Tinggi. Ia bersedia datang dan menceritakan
sejujurnya apa yang dialaminya sejak ia melepaskan jubahnya dan mulai membentuk
keluarga. “Saya berhenti dari imam
sesudah saya gagal menjalin komunikasi yang baik dengan pimpinan saya. Saya kecewa
dan berhenti. Sesudah beberapa tahun berhenti saya pun berencana membentuk
keluarga dan hidup bersama dengan seorang wanita yang saya cintai. Tetapi hingga
belasan tahun kami tidak menerima sakramen perkawinan karena halangan “sakramen
imamat” yang belum dibebaskan oleh Paus. Selama itu hati dan jiwa saya terasa
kering, karena meski saya berdoa dan mengikuti ekaristi, kami tidak menerima
komuni. Seringkali saat konsekrasi saya menangis dalam hati karena saya pernah
merasakan keindahan dan sukacita surgawi pada saat saya melakukan tugas itu ketika
saya masih hidup sebagai seorang imam. Namun perasaan sedih itu cepat-cepat
saya abaikan karena takut dilihat istri saya.”
“Selanjutnya
banyak kesukaran lain yang saya alami pada saat istri saya mulai hamil dan
kemudian melahirkan anak. Meskipun ada sukacita karena kami mempunyai anak, namun
dengan demikian semakin banyak keterikatan dan tanggung jawab khusus yang harus
saya hayati dan terima secara baru sebagai bapa keluarga. Kelihatannya menyenangkan
akan tetapi tidak semudah seperti yang dipikirkan. Ketika ego saya untuk menjadi
segala-galanya saya biarkan meracuni pikiran saya, saya seringkali menyakiti hati
istri, anak dan keluarga besar kami, baik dari pihak istri maupun keluarga
besar saya sendiri, yang belum sepenuhnya menerima keadaan saya. Apa yang tak
pernah saya pikirkan, semuanya datang seperti hujan batu yang dilempar ke arah
saya, bukan saja karena sesama dan keluarga belum menerima keadaan saya tetapi
juga pekerjaan saya yang tidak jelas, bagaimana mengatur hidup rumah tangga
dengan segala keperluan sandang pangan, dll.
Kebebasan
yang saya rasakan sebagai imam dahulu kini tercabik-cabik dan terbelenggu dalam
tugas yang tidak pernah saya pelajari. Saya sering menyendiri ke hutan untuk
berteriak di sana dan memanggil nama Tuhan sambil mohon ampun pada-Nya atas
kegagalan saya dahulu dan memohon bantuan-Nya untuk hidup baru sebagai bapak
keluarga ini. Batin saya sungguh terluka walau kemudian sedikit terobati ketika
saya mendapat surat “laisisasi” – (menjadi awam kembali) dan menerima sakramen
perkawinan. Meski demikian godaan untuk selalu kembali ke imamat sesewaktu
datang kembali. Singkat kata, hidup baru
yang saya pilih ini berat, karena itu inilah nasihat saya bagi para frater: “lakukan
pengolahan batin secara tuntas di saat masih dalam persiapan menjadi imam,
supaya Anda berpikir matang dan dengan penuh kebebasan dapat memilih dan
memutuskan untuk hidup di jalan imamat itu, sehingga bila mendapat tantangan,
seberat apapun dia, Anda tetap kuat menjalaninya”.
Pengalaman mantan imam di atas merupakan
salah satu pengalaman hidup dari para pengikut Yesus Kristus. Ketika tahu ada
banyak pengalaman kesukaran dalam hidup kristiani, St. Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Galatia hari ini mengatakan: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi
janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan
dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Tetapi jikalau kamu saling menggigit
dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan” (Gal
5:13-15). Panggilan menjadi pengikut
Yesus Kristus, dalam status hidup apa saja yang kita pilih adalah panggilan untuk
menjadi merdeka, sebab kita telah dibebaskan dari belenggu dosa dan maut. Pilihan
tepat untuk hidup dalam kemerdekaan sejati adalah berserah diri pada “bimbingan
Roh Kudus”. Seperti kata Paulus dalam lanjutan suratnya hari ini: “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti
keinginan daging” (Gal 5:16). Keinginan daging itu merusak tetapi keinginan
Roh itu membangun dan membahagiakan, sebab Roh Kudus membimbing kita atas dasar
kasih sejati, kasih dari Allah Bapa kita dan Yesus Kristus, Putera-Nya.
Kasih Tritunggal Mahakudus ini telah
menarik hati Elisa untuk meninggalkan pekerjaan-Nya mengikuti Elia. Elisa
melepaskan bajak dan lembu-lembunya, pergi kepada orangtuanya untuk berpamitan
lalu mengikuti Elia. Ia memilih jalan ini dalam kebebasan penuh mengikuti
kehendak Ilahi agar dapat menggantikan Elia menjadi nabi bagi bangsa pilihan. Elisa
termasuk salah satu nabi besar Perjanjian Lama yang sangat tegas dalam
meluruskan hati yang bengkok dan meratakan tindakan yang lekak lekuk dari
bangsa Israel (1 Raj 19:16b.19-21). Dalam kebebasan penuh sebagai nabi Tuhan ia
sanggup melakukan tugas itu karena ia sendiri penuh dengan kasih karunia Allah.
Ketika Yesus hendak menuju Yerusalem, orang
Samaria tidak mau menerima Dia. Yakobus dan Yohanes sangat marah dan meminta
Yesus supaya membinasakan mereka semua. Tetapi Yesus menegur mereka dan
mengatakan: Ia datang untuk menyelamatkan bukan untuk membinasakan. Lalu Ia
melanjutkan perjalanannya dan berjumpa dengan orang-orang yang memiliki
pelbagai alasan ini dan itu, ketika Dia memanggil mereka menjadi murid-Nya. Mereka
tidak tahu bahwa Yesus Kristus itu Tuhan. Bila Tuhan memanggil seseorang atau
lebih untuk mengikuti jalan-Nya berarti Ia ingin menjadikan mereka orang-orang
merdeka yang dibimbing oleh Roh-Nya untuk melakukan hal-hal yang baik dalam
hidup ini.
Dunia telah dikuasai oleh banyak
kejahatan, karena itu Tuhan membutuhkan orang-orang yang dapat dipakai-Nya
untuk melanjutkan misi keselamatan-Nya dalam pelbagai bidang kehidupan manusia.
Allah ingin agar semua orang yang bekerja di manapun dalam bidang-bidang itu
harus menjadi orang-orang yang merdeka, yang bisa membebaskan sesamanya dari pelbagai kejahatan yang telah merajalela itu. Menjadi orang merdeka
berarti menjadi orang yang berani menolak kejahatan.