Ada sebuah adagium yang berbunyi: “Keluarga sehat masyarakat kuat, keluarga
retak masyarakat rusak”. Adagium ini lahir dari kenyataan yang terjadi
dalam hidup manusia. Maka untuk menjaga sehatnya hidup keluarga dan masyarakat,
manusia menciptakan hukum sehingga muncul adagium lain yang tampaknya mendukung
adagium di atas yaitu: “Ubi societas ibi
justicia” – “di mana ada masyarakat
di sana ada hukum”. Hukum diciptakan untuk memelihara keluarga-keluarga
menjadi keluarga yang sehat rohani dan jasmaninya, sehingga bertumbuhlah juga masyarakat
yang sehat dan kuat. Adagium yang mengandung cita-cita ini bukan saja cita-cita
dari institusi agama tetapi juga dari negara agar segenap bangsa di dunia ini
hidup sebagai suatu bangsa yang kuat dan yang ditopang oleh hidup keagamaan
yang sehat dan kuat. Maka baik negara maupun agama menciptakan aturan untuk masyarakat
dan umatnya guna memelihara keluarga-keluarga itu menjadi sehat, rukun dan
damai.
Namun kini kita saksikan ada jutaan
keluarga yang berantakan dan cerai karena setiap pribadi yang terikat dalam
janji perkawinannya tidak ingin berdamai lagi, karena hati mereka telah
dirampok oleh egoisme sempit dan membiarkan anak-anak mereka tercerai berai
atau terpaksa dipelihara oleh “single
parent”. Akibatnya luka kehidupan keluarga semakin hari semakin parah. Amat
disayangkan jikalau warisan seperti ini terus menerus dibiarkan berkembang, lalu
selanjutnya keluarga manusia akan hidup semakin jauh dari kebahagiaan yang mereka
rindukan. Menyedihkan!
Dalam hubungan dengan hidup keluarga
ini, bangsa Israel mempunyai hukum Taurat yang
menegaskan perkawinan yang utuh, kecuali
kalau pasangannya berbuat zinah (bdk Mat 5:27-32). Akan tetapi bukan karena
alasan itu para pejabat agama dengan mudah memberi izin terjadinya perceraian
tanpa melakukan proses hukum. Prinsip peradilan yang berwibawa, jujur dengan
bukti yang jelas harus menjadi dasar utama seorang laki-laki memberi surat
cerai kepada istrinya. Lalu pertanyaannya bagaimana kalau perzinahan itu
dilakukan oleh seorang laki-laki? Walaupun dalam Kitab Suci tak pernah
disebutkan kesalahan laki-laki, namun alangkah tidak adilnya kalau kesalahan
zinah hanya dibebankan kepada kaum perempuan. Dalam hukum “azas praduga tak
bersalah” selalu menjadi pertimbangan dalam peradilan sampai ada bukti yang
dapat diterima.
Secara sepintas bacaan pertama tidak
menyinggung apa pun dengan masalah perkawinan. Namun ia menulis tentang
pengalaman Elia berhadapan dengan beberapa peristiwa alam, yaitu ada angin
badai yang kuatnya bisa memecahkan batu-batu, ada gempa bumi, disusul api dan
angin sepoi-sepoi. Dalam peristiwa alam yang dahsyat dan merusak tidak ada
Tuhan, tetapi dalam peristiwa alam yang sejuk dan lembut Tuhan ada. Saat itu
Elia mendengar suara Tuhan yang menyuruhnya pergi ke Damsyik supaya di sana ia
mengurapi Hazzel dan Yehu menjadi raja
atas wilayah Aram dan Israel lalu mengurapi Elisa menjadi nabi (bdk 1 Raj
19:9a.11-16).
Kalau boleh menafsir, cerita ini menurut
saya ingin menggambarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak hadir dalam keluarga
yang menciptakan badai dan prahara tetapi hadir dalam keluarga yang hidup dalam
kasih dan kelembutan. Keluarga yang menciptakan prahara adalah keluarga yang
mewariskan luka dosa dan luka batin yang mengakibatkan penderitaan.
Tetapi keluarga yang hidup dalam kasih dan
damai akan mewariskan sukacita yang melahirkan anak-anak bangsa yang hebat dan
kuat !