Selasa,
26 Oktober 2010, seorang yang biasa disebut Mbah Marijan, 83 tahun, juru junci
gunung Merapi, yang berdomisili dekat gunung Merapi, Jawa Tengah coba-coba
bertahan di tempat ketika gunung itu dinyatakan akan meletus. Dia lebih yakin
pada nakurinya yang merujuk pada kebiasaan niteni (memerhatikan) bahwa bahaya
letusan gunung itu tidak pernah merambah Dukuh Kinarejo (Kompas.com
27.10.2010), maka sekalipun dibujuk untuk pergi tetapi dia tidak mau pergi dari
rumahnya. Saat evakuasi korban oleh tim SAR, jasad Mbah Marijan ditemukan dalam
keadaan telungkup di kamar mandinya.
Dalam
sejarah bangsa-bangsa sejak dunia diciptakan, salah satu ketakutan utama
manusia yaitu pada kekuatan alam, jikalau alam itu bergelora. Tak pernah
terdengar cerita bahwa ada seorang pahlawan atau manusia, yang mampu
menghentikan gempa bumi, badai hujan dan angin, puting beliung, guntur dan
kilat, banjir, letusan gunung api dsb. Semua manusia takut dan takhluk pada
kuasa alam.
Namun
cerita Injil hari ini mengisahkan pada kita tentang seseorang yang memiliki
kuasa melampui angin dan gelora laut yang hampir menenggelamkan perahu para
murid. Bersama Yesus yang sedang tidur lelap di buritan perahu melaju di tengah
danau. Namun tiba-tiba badai disertai gelombang yang tinggi menerjang perahu itu
dan para murid sangat takut dan panik, sebab seluruh lambung perahu sudah penuh
dengan air dan bahaya tenggelam mengancam mereka semua. Mereka segera
membangunkan Yesus dan berkata: Guru,
Engkau tak peduli kalau kita binasa? Yesus segera bangun dan menghardik
angin dan gelombang dengan dua kata perintah: Diam, tenanglah !
Perintah
“diam”
dimaksud supaya angin ribut itu berhenti dan perintah “tenanglah” dimaksud
supaya gelombangnya reda. Pada saat angin berhenti dan danau tenang para murid
bisa bekerja mengeluarkan air dari dalam perahu dan sesudah itu mereka bisa
berlayar terus menuju seberang dengan tenang. Saat itu semua murid pada heran
dan tidak mengerti, lalu dalam hati mereka bertanya: Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau taat kepada-Nya? Pertanyaan
dalam hati ini muncul karena mereka belum pernah mendengar ataupun melihat
bahwa ada seorang manusia yang berkuasa atas gelora alam seperti ini. Yesus juga
tidak pernah memberitahu tentang siapa Dia selain hanya menegur mereka dengan
berkata: Mengapa kamu tidak percaya? Dengan menyaksikan peristiwa itu
para rasul diajar untuk percaya dan membuat kesimpulan sendiri bahwa Yesus
bukanlah manusia biasa. Setelah Pentekosta barulah segalanya terungkap.
Ketika
mengikuti suara panggilan Tuhan, Abraham tidak pernah bertanya, siapa Engkau
yang memanggil aku? Ia hanya mengimani suara panggilan itu dan pergi. Dalam perjalanan
ke tanah terjanji Abraham hanya berharap bahwa segala sesuatu yang telah dijanjikan
terpenuhi. Harapan itu menguatkan hati Abraham dan istrinya, sehingga keduanya
sepakat meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke negeri asing. Dalam hati
mereka berharap bahwa Dia yang berjanji itu setia dan mereka akan menemukan
suatu tempat diam yang dirancang dan dibangun oleh Allah sendiri. Karena iman
dan harapan mereka demikian kokoh maka segala perintah Tuhan mereka lakukan
tanpa ragu. Iman mereka pada janji Tuhan tidak pernah melunturkan semangat
mereka untuk melintasi padang gurun menuju tanah terjanji, juga tidak membuat
mereka takut dan gelisah dan bertanya apakah perjalanan itu bakal selamat atau
tidak. Keduanya hanya percaya Allah yang memanggil mereka itu mahakuasa,
mahacinta dan setia (bdk Ibr 11:1-2.8-19). Karena itu penulis KItab Ibrani mendefinisikan
iman itu demikian: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti
dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman itu dasar untuk
berharap dan bertindak dalam Tuhan.
Kalau
badai dan gelora laut itu sudah takhluk pada kuasa-Nya, maka segala yang hal
lain yang berada di bawah kuasa itu tak ada apa-apanya bagi Tuhan. Kuasa Tuhan
berada di atas segalanya, kuasa itu telah diserahkan kepada Yesus. Bersama Yesus
semua yang percaya pasti selamat. Amin