Bahagia
rasanya hati ini, ketika pada tanggal 25 Juni 1997, kami berada di lokasi Bukit
Bahagia, bukit belakang reruntuhan kota Kapernaum, tepi danau Galilea. Kapel
yang dibangun untuk mengabadikan tempat Yesus mengucapkan 8 sabda bahagia
berdiri mungil di bukit itu. Di setiap jendelanya tertulis masing-masing satu
sabda bahagia. Saking banyaknya wisatawan dari manca negara hari itu kami tidak
bisa merayakan di dalam kapel itu, tetapi di luar kapel dengan view yang indah kea
rah danau Galilea. Saat itu saya membayangkan bagaimana Yesus dikerumuni murid-murid
dan banyak orang lain lalu mengajar mereka tentang bahagia.
Mereka
yang disapa bahagia itu adalah: orang miskin, yang berdukacita, yang lemah
lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, mereka yang murah hati, suci hati,
yang selalu membawa damai dan juga mereka yang dianiaya karena kebenaran (Mat
5:1-12a). Mereka ini tampaknya mewakili semua orang Israel yang pada masa itu
mengalami penindasan orang Roma. Kelompok manusia tak berdaya ini memang tak
berdaya menghadapi penjajah yang sangat represif yang telah bekerja sama dengan
golongan menengah ke atas dari bangsa Israel sendiri. Mereka kehilangan
pegangan, kehabisan doa pada Tuhan yang membiarkan itu terjadi, mungkin hampir
kehilangan iman dan harapan pada Yahwe yang orang yang berbahagia, karena sesungguhnya
saat itu mereka berhadapan dengan Mesias, dengan seseorang yang tidak mereka
kenal tetapi yang menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Dengan mengatakan
bahagia, Allah, yang menjelma dalam diri Yesus, kini datang menyatakan sikap
empatinya pada semua orang yang menderita dan tak berdaya namun masih hidup
dalam pengharapan akan sesuatu yang lebih baik bagi Israel. Meski mereka miskin
secara rohani dan jasmani, miskin akan kebenaran dan keadilan, toh mereka bisa
berhadapan dengan Tuhan/Mesias yang dijanjikan Allah kepada para nabi dan nenek
moyang mereka. Merasa bahagia dekat pada Tuhan jauh lebih besar dampak kegembiraannya
daripada merasa bahagia karena banyaknya harta dan kekayaan duniawi.