Kata
ABU beberapa kali muncul bersamaan dengan kata DEBU. Dua kata ini berasal dari
akar kata yang sama APAR = DEBU dan IPER = ABU. Debu adalah partikel terkecil
pada zaman itu, sebelum ditemukan atom. Sifat debu: tidak ada artinya, kotor,
tak berguna, tetapi bisa dilihat. Sedangkan abu mengacu pada kemusnahan dari
ada menjadi tiada, sia-sia dan tak punya artinya lagi. Tetapi debu dan abu
adalah benda yang mempunyai derajat paling rendah di antara semua benda
lainnya. Dalam Kitab pertama Samuel bab 2 ayat 8: abu dan debu adalah tempat
tinggal orang miskin dan orang lemah.
Dalam
beberapa buku perjanjian lama abu dan debu dipakai sebagai ritual untuk
pertobatan, misalnya dalam Ayub 42:6; Yeh 27:30; Yun 3:6. Mengapa pada hari Rabu
Abu, dalam mengawali masa tobat ini kita menerima abu di dahi kita?
1.
Selama masa tobat
40 hari ini kita ingin melihat siapa diri kita di hadapan Allah. Allah itu
Tuhan yang mahamulia, sedangkan kita bukanlah apa-apa, hamba tak berguna, namun
dikasihi Allah.
2.
Debu dan abu
adalah simbol hancurnya hati dan diri sesudah menyadari betapa dosa itu merusak
diri kita menjadi tak berguna di hadapan Tuhan dan sesama. Dalam keadaan dosa
kita tidak bisa berpikir jernih, penuh nafsu dan tipu daya, munafik. Dosa membuat
kita lupa bahwa kita memerlukan Tuhan dan sesama.
3.
Menjadi debu dan
abu artinya kita mau meninggalkan egoisme, kesombongan dan segala hal yang
telah merusak ciri khas kita sebagai citra dan anak-anak Allah yang telah
ditebus oleh darah Kristus.
4.
Dengan menerima
abu dan debu kita diingatkan untuk melihat betapa pentingnya orang lain di
sekitar kita. Kita sama-sama berasal dari abu dan debu, karena itu tidak
menjadi sombong lalu memandang orang lain lebih rendah dari kita. Kita membutuhkan
orang lain dalam hidup ini. Sebagaimana dunia ini terdiri dari kumpulan triliunan
debu, demikian pun kita hanya bisa bermakna kalau ada orang lain.
Maka selama masa puasa ini kita perlu mengoyakkan
hati, menjadi debu dan abu (rendah hati) kembali ingat akan asal usul kita dan
membuang segala keangkuhan hati, rela bertelut dan bertobat di hadapan Tuhan
dan memperbaiki sikap hidup kita terhadap sesama (Yoel 2:12-18). Atau kata St.
Paulus berilah dirimu untuk berdamai dengan Allah, sebab masa ini Tuhan ingin memperbaiki
dan menyelamatkan kita (2 Kor 5:20-6:2).
Akan tetapi kalau hendak berpuasa dan berpantang,
lakukanlah itu dengan diam-diam, tekun, dalam semangat kerendahan hati tetapi
penuh iman, harapan dan kasih kepada-Nya. Tuhan yang ada di tempat yang
tersembunyi akan membalas segala tindakanmu itu (Mat 6:1-6.16-18). Kembalilah hari
ini menjadi debu di hadapan-Nya dan sesamamu! Selama masa puasa ini kita
menjaga keutuhan hidup rohani dan jasmani kita agar bebas dari luka-luka salah
dan dosa. Amin