Seminari-seminari di seluruh
dunia didirikan khusus untuk mendidik para calon imam. Puncaknya terjadi pada
saat mereka ditahbiskan menjadi imam – imam perjanjian baru melalui urapan
sakramen imamat. Tugas utama dari para imam perjanjian baru ini adalah:
menguduskan umat Allah melalui pelayanan sakramen, teristimewa sakramen
ekaristi harian, hari Minggu dan hari-hari raya. Sakramen ekaristi ini wajib
dirayakan setiap hari oleh para imam, sebab sakramen ini menjadi pusat
kehidupan bagi seluruh umat Allah. Dalam sakramen ini para imam menyediakan
makanan surgawi – roti malaikat yang memberi kekuatan – rahmat surgawi melalui
sabda dan santapan tubuh dan darah Yesus Kristus kepada seluruh umatnya. Tanpa imam
tiada ekaristi, tanpa ekaristi imamat dan umat Allah tidak mendapat makanan
surgawi.
Hari ini dalam perjamuan malam
terakhir bersama murid-Nya, Yesus mengadakan sakramen ekaristi sekaligus
imamat. Yesus merendahkan diri-Nya yang mulia, rela hadir dalam roti dan
anggur, yang dikonsekrir oleh imam menjadi tubuh dan darah-Nya. dengan cara itu
Ia mau melayani umat-Nya dalam semangat kerendahan hati dan cinta tanpa pamrih,
untuk melayani dan memberi makan umat-Nya. Imamat yang dipersatukan di dalamnya
hendaknya rendah hati, mengikuti teladan Yesus sendiri dalam melayani umat-Nya
serta menuntun mereka semua agar bisa berjumpa dengan Tuhan dalam ekaristi.
Kerendahan hati dan cinta tanpa pamrih itu ditunjukkan Tuhan sendiri melalui
acara cuci kaki para murid-Nya, derita dan wafat-Nya di salib serta
kebangkitan-Nya dari antara orang mati (bdk (Yoh 13:1-15).
Ketika merenungkan
bacaan-bacaan hari ini saya teringat akan seorang imam yang sangat saleh,
pelindung para pastor paroki, yaitu Pastor Yohanes Maria Vianney. Ia diutus ke
kota Ars, Perancis. Kota itu dalam kondisi kurang menyenangkan karena moralitas
yang jelek. Banyak pastor sebelumnya gagal dan tidak mampu bekerja di situ.
Namun dalam kesadaran akan rahmat imamat yang dalam, sebagai “alter Christus”,
Yohanes Maria Vianney tampil sebagai imam, yang sungguh menyelamatkan umat kota
itu. Setiap hari ia melayani pengakuan dosa umat, merayakan ekaristi bersama,
melakukan katakese umat, mendirikan lembaga sosial, sekolah dll. Melalui pelbagai jurus pelayanan itu, dia
berhasil mengembalikan hati umatnya dari pelbagai kesesatan, mereka bertobat
dan berbalik kepada Tuhan.
Kepada jemaat di Korintus St.
Paulus mengingatkan mereka akan pentingnya ekaristi sebagai kenangan akan karya
penebusan Yesus Kristus bagi segenap umat Allah (2 Kor 11:23-26. Ekaristi
adalah kurban paling sempurna, sebab di dalam ekaristi Yesus bukan saja
dikenang, tetapi juga hadir dan bersatu secara pribadi, mesra dengan setiap
orang yang menerima Dia dalam komuni kudus. Dengan dasar ini kita bersyukur
atas sakramen imamat yang diterima para imam, sebab hanya mereka saja yang
diberi kuasa untuk menghadirkan Kristus di dalam ekaristi. Tanpa imam, tidak
ada ekaristi.
Di dalam perjanjian lama
kenangan yang terjadi perjamuan Paska hanyalah kenangan akan pembebasan umat
Israel keluar dari negeri Mesir (Kel 12:1-8.11-14). Dalam perjanjian baru
kenangan akan perjamuan Tuhan ini menjadi lebih sempurna, sebab di dalam
ekaristi, ada kenangan “agape” – persaudaraan kasih antara umat beriman, ada
kenangan korban salib dan kebangkitan Yesus Kristus dan ada kenangan imamat
perjanjian baru.