Di sekitar kita ada banyak musuh jiwa
raga yang bhisa menelan kita hidup-hidup, demikian kata pemazmur. Para musuh
itu ada yang kelihatan dan ada juga tidak kelihatan. Bila kita berhadapan
dengan musuh-musuh seperti itu, pelbagai macam perasaan pasti datang
menggerogoti hati kita. Bagi orang yang iman dan mentalnya kuat dan merasa
benar, ia tidak akan takut menghadapinya, bagi mereka yang mentalnya mudah
goyah, mereka akan selalu kuatir dan merasa tidak nyaman, bagi orang yang
sungguh merasa bersalah karena perbuatannya sendiri, ia bakal ketakutan dan
susah tidur memikirkan cara bagaimana ia mengatasinya, lebih lagi kalau
musuh-musuhnya selalu mengancam untuk membunuhnya. Dalam keadaan baik atau
buruk hidup manusia selalu digerogoti pelbagai masalah atau perkara yang
seringkali membuat pikiran dan batin tersandera.
Nabi Yeremia, nabi yang masih amat muda.
Ia dipakai Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan pertobatan dan nubuat-nubuat
kewaspadaan terhadap ancaman-ancaman musuh yang bakal menghancurkan Israel. Namun
segala pesan dan nubuat yang disampaikannya dianggap sebagai “kebohongan” oleh bangsa
Israel umumnya, bahkan mereka mengancam nabi ini dan hendak membunuhnya. Dalam keadaan
seperti itu, Yeremia hanya mengandalkan Tuhannya dan berkata: “Tetapi, TUHAN semesta alam, yang
menghakimi dengan adil, yang menguji batin dan hati, biarlah aku melihat
pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku”(bdk
Yer 11:18-20). Pengalaman nabi
Yeremia ini sesungguhnya mau menggambarkan pengalaman Tuhan Yesus dalam
karya-Nya ketika Ia hidup dan berkarya di tengah bangsa Israel kemudian. Kalimat
yang menggarisbawahi kebenaran ini adalah ungkapan nabi Yeremia pada ayat 19: “Tetapi aku dulu seperti anak domba jinak
yang dibawa untuk disembelih, aku tidak tahu bahwa mereka mengadakan
persepakatan jahat terhadap aku: "Marilah kita binasakan pohon ini dengan
buah-buahnya! Marilah kita melenyapkannya dari negeri orang-orang yang hidup,
sehingga namanya tidak diingat orang lagi!" Kalimat ini adalah nubuat
tentang apa yang akan dihadapi Yesus dalam karya-Nya kelak. Namun Yeremia juga merasakannya. Tetapi Yeremia menyerahkan segala perkaranya kepada Tuhan dan ia
menjadi tenang.
Pengalaman Yeremia di atas terulang
kembali dalam pengalaman Yesus Kristus sendiri. Cerita Yohanes dalam Injil hari
ini mengatakan hal yang sama terjadi pada Yesus. Saat Ia mengajar di Yerusalem,
banyak orang mendengarnya. Ada yang mengakui Dia sebagai nabi, tetapi ada yang
tidak, bahkan mereka bermufakat untuk menangkapnya. Para penjaga yang tak mampu
menangkap-Nya dipersalahkan oleh imam-imam dan orang-orang Farisi. Nikodemus,
salah seorang Farisi yang tampaknya mau membela Yesus juga ikut dipersalahkan. Namun
Yesus tidak gentar menghadapi semua rencana jahat itu, sebab Ia tahu bahwa Ia
datang atas kehendak Allah sendiri, yang Dia sebut sebagai Bapa-Nya (bdk Yoh
7:40-53). Seluruh keberadaan, hidup dan karya-Nya adalah inkarnasi Allah. Ia datang
dan melaksanakan misi keselamatan ini atas kehendak Allah. Manusia harus
diselamatkan dari dosa, oleh pekerjaan-Nya melalui kehadiran, warta dan jalan
salib-Nya, jika tidak demikian maka hidup manusia akan menjadi sia-sia saja,
sebab dosa manusia tak bisa diselamatkan oleh darah binatang. Karena itu ketika
Tuhan Yesus menghadapi ancaman-ancaman dari para musuh-Nya, Ia tidak gentar
lagi, semuanya telah Ia serahkan kepada Bapa-Nya dalam doa-doa-Nya. Ia taat
kepada kehendak Bapa-Nya dan mau menyelesaikan tugas-Nya sampai pada puncaknya,
dalam misteri SALIB !
Manusia ada, hidup dan bekerja dalam
penyelenggaraan Allah. Tak sedetik pun dari keberadaan kita di luar
perhatian-Nya sampai kita kembali kepada-Nya. Apakah hidup ini dipenuhi misteri
sukacita atau atau misteri salib, semua itu berada dalam kendali Tuhan sendiri.
Menyerahkan perkara-perkaramu kepada-Nya,
di saat sulit, adalah jalan keluar terbaik dan tak tergantikan! Hidup ini
milik-Nya. Seluruhnya !