Status hidup manusia menjadi “rekan
kerja Allah” diterima oleh masing-masing kita tanpa memandang latar belakang
agama, suku, bangsa dan warna kulit. Sebab kita memiliki keyakinan bahwa
manusia diciptakan sebagai “citra/gambar Allah”. Setiap manusia berharga di
mata Tuhan, tak ada yang lebih rendah dan tak ada yang lebih tinggi. Dengan pandangan
ini, sesudah perang dunia kedua dan kekejaman holocaust (genosida terhadap
kira-kira 6 juta orang Yahudi di Eropa), maka dalam pertemuan PBB tahun 1948 di
Paris semua negara sepakat untuk membuat suatu Deklarasi Hak Asasi Manusia,
guna melindungi setiap pribadi manusia pada semua bangsa dengan isi sebagai
berikut:
1.
Pengakuan
atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari
semua anggota keluarga manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan dan
perdamaian di dunia.
2.
Semua
manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak.
Sejak dikeluarkannya Deklarasi Hak Asasi
ini hingga hari ini belum ada perang yang melibatkan negara-negara secara
bersama-sama, selain perang lokal dalam suatu negara, sebaliknya bangsa-bangsa
sibuk membangun dirinya sendiri. Deklarasi Hak Asasi sungguh menyelamatkan
bangsa-bangsa dari pelbagai bentuk kejahatan perang seperti perang dunia
pertama dan kedua, sekurang-kurangnya sampai hari ini.
Para pemimpin Yahudi sangat kuatir dengan
kehadiran Yesus yang pengaruhnya tampak semakin berakar. Mereka takut pengaruh itu
akan semakin menyebar dan dari segi politik dipandang sebagai kekuatan yang
membahayakan stabilitas. Ia dapat saja mengumpulkan massa untuk mengadakan
pemberontakan, apalagi Dia memiliki kuasa untuk melakukan mujizat-mujizat. Akhirnya
mereka berkumpul dan membuat kesepakatan bahwa, Yesus harus ditangkap, dihukum
mati, sehingga pengaruh-Nya akan hilang. Namun kesepakatan ini diambil
berdasarkan nubuat dari imam agung Kayafas. “Kayafas, Imam Besar pada tahun itu, berkata kepada mereka: "Kamu
tidak tahu apa-apa, dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu
orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa."
Hal itu dikatakannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai Imam Besar pada
tahun itu ia bernubuat, bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu, dan bukan untuk
bangsa itu saja, tetapi juga untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak
Allah yang tercerai-berai. Mulai dari hari itu mereka sepakat untuk membunuh
Dia” (Yoh 11:45-56). Dilihat dari tinjauan teologis, sesungguhnya dalam
ketidaktahuan, mereka melakukan rencana dan kesepakatan ini. Rencana ini adalah
rencana Allah sendiri. Nubuat imam agung itu telah mengatakannya. Yesus harus
dihukum mati menurut hukum Yahudi dengan alasan menghujat Allah karena
menyamakan diri-Nya dengan Allah. Alasan manusiawi ini dipakai Tuhan sebagai
jalan untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya. Ia dihukum dengan cara tidak
adil untuk menebus segala ketidakadilan yang dilakukan manusia sendiri terhadap
Tuhan dan sesamanya.
Nabi Yehezkiel telah melihat semua
rencana Allah ini melalui nubuatnya tentang persatuan dan perdamaian bagi
bangsa itu. Dosa telah membuat mereka tercerai berai. Namun Daud mempersatukan mereka
kembali (Yeh 37:21-28). Sesudah Daud mereka tercerai berai lagi namun seorang
Daud baru akan mempersatukan mereka dengan caranya sendiri. Daud baru itu
adalah Yesus Kristus yang mereka tolak, namun “Allah menjadikan Dia sebagai batu
penjuru yang mempersatukan bangsa-bangsa”.
Kita bersyukur atas semua pekerjaan Allah
yang terwujud dalam diri Yesus Kristus. Kita juga bersyukur atas iman kita akan
DIA. Kita bersyukur atas sakramen-sakramen yang terwaris dalam Gereja. Segala kekayaan
iman ini menjadi kekuatan bagi kita untuk melanjutkan karya Tuhan melalui
pengabdian kita masing-masing. Kita sepakat untuk meneruskan karya besar Allah ini
untuk menyelamatkan umat-Nya secara turun temurun sampai akhir dunia!