Memang, seindah-indahnya kata dan
bahasa cinta yang diungkapkan manusia terhadap sesamanya, tidak akan pernah
melampaui kata dan bahasa cinta yang diungkapkan Yesus bagi Bapa-Nya dan
umat-Nya. Sebab Yesus bukan saja pandai berkata dan berbahasa cinta melainkan
telah menjadi cinta itu sendiri dalam tindakan-Nya dan tindakan cinta ini telah
menjadi simbol cinta abadi bagi segenap umat manusia. Dalam penyerahan diri
hingga wafat-Nya di kayu salib, hidup dan karya-Nya menjadi cinta yang sempurna
bagi keselamatan kita semua. Dunia terkagum pada cinta-Nya dan jutaan orang
terpana pada cinta-Nya itu hingga rela mati untuk mempertahankan imannya akan
Sang Raja Cinta ini serta melepaskan segalanya untuk menjadi pengikut-Nya.
Mereka berkata, cinta-Nya jauh lebih agung dan mulia dari cinta sesama manusia.
Dan Ia sendiri berkata:”Tidak ada kasih
yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Hari ini kita memperingati peristiwa agung
itu Ia memberikan nyawa-Nya bagi kita semua. Ia wafat di salib untuk menebus
dosa kita. Dengan wafat-Nya, Ia menjadi kurban pendamaian sempurna melampaui
semua kurban binatang dalam perjanjian lama. Dalam nubuatnya tentang Sang Raja Cinta
ini, nabi Yesaya mengatakan: “Sesungguhnya,
hamba-Ku akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan. Seperti
banyak orang akan tertegun melihat dia -- begitu buruk rupanya, bukan seperti
manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi --demikianlah ia
akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya
melihat dia; sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka akan mereka lihat,
dan apa yang tidak mereka dengar akan mereka pahami” (Yes 52:13-15).
Peristiwa penyaliban Yesus adalah
sebuah peristiwa besar dan sungguh tak masuk akal manusia, sebab Dia dihukum tanpa salah sedikitpun, namun hal
itulah yang membuat banyak bangsa tercengang dan para raja tak sanggup membuka
mulut untuk mengagumi-Nya. Karena itu penulis
Kitab Ibrani dalam bacaan kedua hari ini mengajak kita dengan bersaksi: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar
Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita
teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya,
bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita,
sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab
itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia,
supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat
pertolongan kita pada waktunya” (Ibr 4:14-16).
Jalan salib Yesus menuju Golgotha
sungguh suatu perjalanan yang amat berat dan tak satu pun dari antara manusia
biasa bisa mencapai kekuatan seperti, selain Dia yang berasal dari Allah.
Siksaan yang mereka lakukan atas Dia sungguh tak berperikemanusiaan. Jika
melihat tempat siksaan-Nya, Dia seharusnya sudah mati saat dirajam para serdadu
di ruang sempit bawah tanah. Tetapi karena Dia harus ditinggikan di salib maka
Allah memberi kekuatan luar biasa pada-Nya untuk bertahan. Dia harus memikul
sendiri salib-Nya menuju Golgotha. Di tempat itu Dia terhitung sebagai salah
seorang dari para penjahat, namun dari kehinaan itu Allah meninggikan Dia dan
semua orang yang memandang Dia pun mengagumi-Nya. Di tempat inilah Dia
mengungkapkan cinta-Nya secara sempurna untuk kita semua. Cinta itu tak akan
pernah tertandingi oleh manusia biasa mana pun di dunia ini, sehebat apapun
mereka, dan oleh korban mana pun.
Oleh kurban cinta yang sempurna ini,
Ia telah mengakhiri segala kurban yang tidak sempurna dari tata cara dan
ritus-ritus dari Hukum Lama, maka dalam segala hal, sejak saat itu secara
insani dan nyata kita hanya boleh dibimbing oleh Hukum Kristus dalam Gereja-Nya
dan yang telah dinyatakan syah oleh para abdi-Nya. Tetapi apabila seseorang
masih berpegang teguh pada tata cara dan ritus-ritus Hukum Lama, dia akan
berjalan sia-sia (bdk. St. Yohanes Salib, Mendaki Gunung Karmel, hal.196). Yesus
sendiri telah mengingatkan kita dengan bersabda: “hanya melalui Aku orang dapat sampai kepada Bapa” (Yoh 14:6).
Cinta yang sejati datang dari Allah,
dipersembahkan untuk Allah dan sesama. Cinta itu harus terjadi dengan
pengorbanan tanpa batas, bukan asal-asal, bukan juga basa basi, tidak juga
dengan sikap suam-suam kuku, tetapi hendaknya lahir dari hati yang hanya
terarah kepada Sang Cinta itu sendiri, seperti halnya kalau hati kita terarah
dalam cinta kepada seseorang yang kita cintai. Dalam hukum cinta kasih Tuhan
bersabda: "Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”.......dan
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37.39).
Melalui jalan salib hingga ke
Golgotha, wujud cinta Yesus bagi Allah dan bagi umat manusia tak akan pernah
diragukan lagi oleh orang-orang yang percaya. Ia telah melakukan segalanya bagi Allah dalam ketaatan sempurna
dan melakukannya bagi manusia tanpa batas suku, bangsa, bahasa dan agama. Di salib
itu Ia telah menyatakan kepada kita: “Ya Abba, ya Bapa, ampunilah mereka sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Bila Anda dan saya harus memikul salib
berat demi tercapainya suatu tujuan yang mulia dan baik, Anda dan saya telah
mengambil bagian dalam kesempurnaan kurban Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia dari dosa dan untuk memuliakan nama Tuhan…!