“Dengan
pengalaman ini saya perlahan-lahan menyampaikan kepada orang sekampung bahwa
kalau ada permohonan untuk mengadakan upacara tertentu dalam keluarga mereka,
saya menggantikannya dengan doa-doa kristiani. Saya mencari buku panduan
memimpin upacara doa di kebun, di rumah, di sawah dll. Jika ada imam saya
meminta imam untuk merayakan kurban ekaristi saja untuk semuanya. Dalam doa kristiani
selalu ada ketenangan, sebab saya sangat yakin akan kuasa Yesus Kristus sebagai
jalan kepada Bapa-Nya. Anak-anak saya masuk SMP, SMA dan Perguruan Tinggi,
semuanya didoakan secara katolik saja dan tidak didoakan dengan upacara adat. Enam
anak saya maju dalam pelajaran mereka dan ada yang sudah menjadi guru dan
pegawai. Saya dan istri saya senang menyaksikan kemajuan yang dicapai oleh
anak-anak kami. Lama kelamaan orang-orang sekampung semuanya mengikuti saran
dan keyakinan saya. Dengan banyak pengetahuan yang saya terima dalam kegiatan
konvensi ini saya semakin percaya bahwa tak ada kuasa lain yang menyelamatkan
hidup saya selain Yesus”.
Perjalanan
panjang bangsa Israel menuju tanah terjanji menimbulkan banyak kebosanan dan
penderitaan. Situasi padang gurun sungguh-sungguh menantang. Tidak heran kalau
orang Israel marah-marah kepada Tuhan dan Musa serta menghujat-Nya. Akibatnya
mereka menderita kena pagutan ular tedung yang berbisa dan banyak orang Israel
yang mati. Ketika mereka sadar akan ksesalahannya, mereka memohon ampun pada
Tuhan melalui Musa. Musa membuat ular perunggu, ditancapkan pada salib yang
tinggi, supaya setiap orang yang terpagut ular tedung dapat luput dari kematian
bila memandang ular tembaga itu (Bil 21:4-9). Doa Musa dan simbol ular tembaga yang terpancang tinggi itu menyelamatkan
bangsanya dari kematian.
Doa dan
lambang yang dipakai Musa ini dalam Perjanjian Baru diibaratkan pada Tuhan
Yesus yang ditinggikan pada salib. Setiap orang yang memandang Dia yang
ditinggikan di salib dan percaya kepada-Nya diselamatkan dari kematian kekal. Karena
itu dalam perdebatan yang kita baca dalam Injil hari ini, tentang
eksistensi-Nya sebagai utusan dari Allah, Yesus berkata: "Apabila kamu
telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa
Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang
hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. Dan Ia, yang telah mengutus Aku,
Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat
apa yang berkenan kepada-Nya." (Yoh 8:28-29). Ketika ditinggikan di salib
Yesus berdoa agar Bapa-Nya mengampuni semua orang yang menyusahkan diri-Nya
sejak penangkapan-Nya hingga Ia disalibkan, sebab mereka tidak tahu apa yang
mereka lakukan. Orang-orang yang percaya dan mengakui Dia sebagai Tuhan dan
Juru Selamat mendapat jaminan menerima hidup kekal. Sebab hanya darah kudus-Nya
yang Ilahi itu menjadi satu-satunya korban yang syah dan sempurna, yang
dipersembahkan untuk menebus dosa manusia. Dengan demikian secara otomatis darah
Yesus ini menjadi korban Perjanjian Baru menggantikan korban darah binatang
dalam Perjanjian Lama.
Tiada korban
lain yang yang syah dan benar yang sanggup menyelamatkan kita, selain korban
Yesus yang telah ditinggikan di salib. Bila kita sudah percaya kepada Kristus
tetapi masih berpegang teguh pada korban Perjanjian Lama, itu namanya dualisme dalam
mengimani Tuhan. Dualisme dapat menjauhkan kita dari keakraban dengan Yesus
Kristus, sebagai satu-satunya Pengantara kita pada Bapa. Keberanian untuk meninggalkan
adat istiadat lama bukanlah sebuah tindakan tidak menghormati warisan nenek
moyang tetapi suatu keberanian iman untuk percaya bahwa hanya satu saja korban
yang syah dan berkenan kepada Allah, yaitu korban Kristus. Anggur yang baru tidak cocok disimpan dalam kerbat yang lama. Anggur baru harus disimpan dalam kerbat yang baru…!