Dalam hidup manusia modern dewasa ini,
motivasi memberi bantuan guna menolong sesama yang berkekurangan sangat sering
dilakukan dan hasilnya pun sangat banyak orang yang mewujudkannya. Kesan-kesan dari
mereka yang bisa memberi itu selalu mengatakan: senang sekali rasanya bisa
memberi dan kegembiraan ini akan selalu mendorong kami untuk terus memberi.
Memberi di sini terjadi karena adanya motivasi positip yang mereka dengar lalu
mempraktekkannya. Ternyata memberi itu menyenangkan.
Sementara itu ada begitu banyak juga
saudara yang sejak dalam keluarganya sendiri telah belajar dari orang tua mereka
masing-masing bagaimana memberi, dari kelebihan ataukah dari kekurangan. Mungkin
mereka telah belajar dari pengalaman hidup bahwa dengan memberi hidup mereka menjadi
lebih berarti bagi orang lain. Ketika anak-anak melihat perbuatan ini sebagai
sesuatu yang baik dan menyenangkan, mereka pun akan melakukannya. Mereka memberi
karena telah belajar bagaimana baiknya perbuatan “memberi” itu.
Ada juga sesama saudara yang belajar
memberi ketika mereka melihat orang lain suka membawa ole-ole, hadiah apabila
mengunjungi teman, keluarga, kenalan dsb. Ketika mereka melihat orang-orang itu
terlibat dalam suasana sukacita yang lebih karena hadiah atau ole-ole itu,
mereka menilai bahwa memberi itu ternyata menyenangkan, lalu mereka pun belajar
melakukannya. Di sini orang belajar
memberi dari melihat bagaimana sesama itu memberi.
Mengapa kita perlu memberi? Kalau kita
ingin merenung tentang hidup dengan segala kekayaan yang punyai dalam dunia
ini, maka kita boleh berkata: segala yang
ada pada kita, sesungguhnya bukan milik kita, melainkan milik Sang Pencipta
sendiri.
St. Paulus dalam bacaan pertama hari ini
(2 Kor 9:6-10) mengatakan dengan cara lain: Pertama,
"Ia membagi-bagikan, Ia memberikan
kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya. Ia yang menyediakan
benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih
bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu”. Maka
hal pertama mengapa kita perlu memberi tidak lain karena Allah telah mengajar
kita untuk memberi dan segala yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Pernyataan
St. Paulus ini lahir atas dasar kesaksian St. Yohanes dalam Injilnya hari ini:
bahwa Allah telah mengorbankan hidupnya untuk kita melalui pemberian diri Yesus
seutuhnya untuk menyelamatkan kita. Ia mati sebagai biji gandum dan telah hidup
kembali dengan memberi banyak buah kebaikan teristimewa keselamatan kita (bdk Yoh
12:24-26)
Kedua, “Orang yang menabur sedikit, akan menuai
sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Memberi
itu bukan pekerjaan sia-sia yang akan hilang begitu saja. Ia sama dengan
pekerjaan menabur atau menanam. Semakin banyak kita menabur atau menanam
hal-hal yang baik semakin banyak pula tumbuh hal-hal baik itu dalam dunia ini.
Memberi itu memiliki kekuatan “feedback” yang berlipatganda bagi yang
melakukannya.
Akan tetapi dalam hal memberi St. Paulus
tetap mengingatkan kita akan kunci utama dalam memberi yaitu: Hendaklah masing-masing memberikan menurut
kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi
orang yang memberi dengan sukacita. Memberi akan memiliki nilai rohani yang
tinggi bila kita memberi dengan sukacita. Kalau dilakukan secara terpaksa maka
kebajikan memberi itu akan kehilangan nilai rahmat dan sukacitanya.
St. Laurentius telah memberikan hidupnya
untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya dengan penuh sukacita. Ketika ia dipanggang
di dalam kuali yang telah membakar sebagian tubuhnya ia masih tersenyum dan
mengatakan: balikkan tubuh saya agar bisa terpanggang dengan utuh untuk
kemuliaan nama Tuhanku! St. Laurentius sungguh memberi dirinya dengan sukacita.
Semoga ia selalu mendoakan kita agar mau memberi hidup dan milik kita bagi
kemuliaan nama Tuhan seutuhnya. Amin