Pada masa kampanye, di ajang
pemilukades, pemilukada, pileg, pilgub dan pilpres para calon pemimpin
terhormat dan yang mulia ini tampak rajin blusukan ke desa-desa,
kampung-kampung, kota-kota, bahkan pasar-pasar, sekolah-sekolah untuk memperkenalkan
diri sambil melayani masyarakat dengan pelbagai macam kegiatan mereka. Dalam
pidato yang hebat mereka akan mengatakan: kalau
Anda memilih saya, maka saya akan berusaha melayani Anda semua dengan visi misi
saya berikut ini. Lalu mulailah mereka membeberkan visi misinya dengan
lancar, cermat, enak didengar, dengan rangkaian kata-kata yang amat puitis,
asyik dan menyenangkan. Mereka menyanyi dan menari bersukaria di tengah
masyarakat seolah-olah tak ada jarak. Mereka sungguh ingin menyatu dengan
rakyat kecil, sambil sesekali berkata: aku
ingin menjadi pemimpin yang melayani !
Akan tetapi ketika sudah berhasil
terpilih, apa yang kita saksikan? Tampaknya seperti ada lompatan besar dari
bumi ke langit, sebab mobilnya bermerk, ke mana-mana selalu didahului mobil
bersirene, agar mobil para penumpang “colt diesel atau truck kayu”, travel
rakyat kecil atau wisatawan, bis para penumpang umum menyingkir ke pinggir
jalan dan membiarkan mobil plat khusus lagi bermerk itu lewat tanpa hambatan.
Tak ada lagi basa basi lambaian tangan untuk menyapa lewat jendela seperti saat
kampanye, yang ada hanyalah kaca gelap agar tidak tahu siapa yang lewat. Dalam
hatinya mungkin mereka berpikir: kini
aku telah jadi pemimpin dan harus memikirkan nasib Anda melalui pembangunan ini
dan itu, maka kemana-mana aku harus menjadi yang pertama, nasib Anda di tangan
saya dst, dst.... Tempat duduk mereka di mana saja tidak lagi membaur
seperti pada masa kampanye, tetapi terdepan dan terhormat. Saat kampanye selalu
bilang: aku datang untuk melayani kini
aku datang supaya dilayani! Yang terbesar menjadi pelayan kini berubah yang
terbesar harus dilayani.
Pertanyaannya, dari mana dan mengapa
semua ini berubah seperti itu? Tidak lain dari budaya paternalistis,
mengutamakan yang terbesar atau yang tertinggi sebab pemimpin adalah panglima,
raja atau ratu, yang patut dihormati, dimuliakan, ditinggikan! Akibatnya,
amatlah sukar bagi kita untuk menghayati permintaan Yesus: yang terbesar hendaknya menjadi pelayan! Jika kita ingin mengubah
budaya dengan mental priyayi seperti ini, kita akan mendapat cap tidak tahu budaya
dan tidak tahu menghormati yang tertua atau yang dituakan.
Akan tetapi ada satu kongregasi dalam
gereja yang menyapa anggota-anggota mereka dengan sapaan saudara tanpa membedakan apakah dia pemimpin ataukah cuma
seorang anggota biasa. Mereka hanya memiliki satu sapaan yang sama untuk semua: saudara ! Misalnya: saudara Markus,
Petrus dst... apakah mereka ini tidak tahu budaya atau tidak tahu etika hormat
menghormati? Sama sekali tidak. Mereka sungguh ingin mengikuti contoh pemimpin
utama mereka yang menyapa semua ciptaan Tuhan dengan mengatakan: saudara. Misalnya: saudara angin, saudara
rumput, saudara kera dst... Itulah dia St. Fransiskus Asisi. Orang kudus ini
sungguh menerjemahkan perkataan Yesus, pemimpin adalah pelayan.
Wejangan Yesus dalam Injil hari ini
menantang kita semua untuk bersikap rendah hati dalam kata dan perbuatan, bukan
rendah hati sementara sekedar sarana yang dipakai saat kampanye pemilu agar mendapat
kedudukan, bukan kata-kata hisaan bibir di saat kotbah supaya enak didengar
tetapi harus menjadi karakter untuk mengubah diri dan dunia, sebab kerendahan
hati untuk melayani termasuk prasyarat utama untuk mendapat rahmat mengubah
dunia dan untuk masuk kerajaan surga (bdk Mat 23:1-12).
Nabi Yehezkiel dalam penglihatannya memandang
kemuliaan Tuhan turun atas bait suci dan memilih bait suci itu menjadi tempat
kediaman-Nya. Dalam bait suci itu Ia bertakhta di tempat yang sudah tersedia
untuk mendengar doa, pujian, sembah bakti umat-Nya. Ia datang dari surga rela
merendahkan diri, duduk di antara manusia berdosa, guna memperhatikan dan mendengar
keluh kesa, melihat penderitaan umat-Nya serta melayani segenap umat-Nya dengan
menyediakan segala rahmat yang mereka perlukan (Yeh 43:1-7a). Yang berdosa diampuni,
yang sakit disembuhkan, yang mencerita diberi-Nya penghiburan, yang lemah dikuatkan
dan yang hilang dicari-Nya. Sungguh Ia datang untuk melayani umat-Nya. Penglihatan
Yehezkiel menjadi benar dan nyata ketika Yesus hadir dan mengatakan: Aku datang untuk melayani, mencari dan
menyelamatkan yang hilang ! Dia yang terbesar menjadi PELAYAN kita !