Hingga
saat ini masih banyak saudara-saudari kita yang masih berpegang teguh pada
keyakinan mereka bahwa, bila kita tidak menjalankan kewajiban Taurat, mempersembahkan
korban binatang untuk menghormati arwah leluhur, maka hidup kita tidak akan diberkati
atau kita mudah terkena mala petaka, atau nanti akan mendapat banyak halangan
dalam usaha dan cita-cita. Tidak heran kalau di mana-mana kita lihat
saudara-saudari ini selalu mendahulukan kewajiban Taurat itu dari pada doa syukur
dan permohonan secara Kristiani ataupun Ekaristi. Alasannya: para leluhur itu
akan marah karena peran mereka diabaikan? Pertanyaannya: apakah arwah orang
mati masih memiliki sifat seperti pada manusia yang hidup yaitu bisa benci, marah
dan dendam? Apakah arwah para leluhur itu yang menentukan nasib hidup kita
ataukah Allah yang mahatinggi, Pencipta langit dan bumi dan segala isinya? Apakah
arwah leluhur itu yang menebus dosa kita ataukah Yesus Kristus, satu-satunya Juru
Selamat kita? Apakah korban binatang itu jauh lebih tinggi dari pada korban
Yesus Kristus di salib?
Pertanyaan-pertanyaan
ini bukan untuk menentang Taurat atau hukum adat istiadat, bukan juga karena
tidak menghormati arwah para leluhur dan mereka yang sudah meninggal dunia. Tetapi
untuk mengingatkan kita bahwa orang-orang yang telah dibaptis karena iman akan
Yesus Kristus adalah manusia Perjanjian Baru, manusia yang seharusnya yakin
bahwa kita diselamatkan oleh darah Yesus Kristus, bukan oleh darah binatang. Karena
itu kita bukan lagi hidup di bawah kuasa perjanjian lama (hukum Taurat) tetapi
kuasa perjanjian baru (hukum Kristus). Maka kata St Paulus di tempat lain:
selaraskan imanmu dengan kehendak Tuhan – hukum Kristus dan bukan hukum manusia
(Taurat). Para bapa gereja telah mengingatkan kita akan bahaya dualisme dalam penghayatan
iman, yaitu akan menjauhkan kita dari kehendak Tuhan. St. Paulus dalam bacaan
pertama hari ini mengatakan: “Kamu lepas
dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup
di luar kasih karunia. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan
kebenaran yang kita harapkan” (Gal 5:4-5) – yang tidak lain adalah yaitu
Kristus sendiri.
Suatu
saat Yesus diundang makan di rumah seorang Farisi, orang-orang Farisi yang juga
hadir di situ merasa heran karena Yesus tidak mencuci tangan (kewajiban hukum
Taurat). Yesus pun memberi wejangan keras kepada mereka kata-Nya: "Kamu orang-orang Farisi, kamu
membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh
rampasan dan kejahatan. Hai orang-orang bodoh, bukankah Dia yang menjadikan
bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian dalam?”. Sejak awal hukum Taurat
ditulis untuk membantu manusia agar sanggup menyelaraskan hidupnya dengan
kehendak Tuhan, namun sayangnya Taurat pada umumnya menekankan aspek lahiriah
bukan yang batiniah. Orang Farisi ikut menggarisbawahi yang lahiriah itu dari
pada yang batiniah, sebab mereka hidup di bawah perintah Taurat.
Kita
bersyukur bahwa sebelum kedatangan Yesus Kristus Musa telah menulis hukum
Taurat agar ditaati umat Israel. Hukum ini dipakai sebagai penuntun bagi mereka
agar menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan sesama. Sebelumnya dalam surat kepada
jemaat Galatia yang sama ini St. Paulus telah mengatakan Taurat seperti ini: “Sebelum iman itu datang kita berada di
bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi
hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita
dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak
berada lagi di bawah pengawasan penuntun. Sebab kamu semua adalah anak-anak
Allah karena iman di dalam Yesus Kristus” (Gal 3:23-26). Taurat hanyalah
penuntun sampai Kristus datang. Kristus yang menyelamatkan kita bukan hukum
Taurat.