Bagi
orang yang kurang beriman judul renungan ini dianggap sebagai idealisme belaka,
namun bagi yang sungguh-sungguh beriman judul ini bukanlah isapan jempol tetapi
suatu cita-cita yang harus dicapai. Sebab jika Kristus menguasai seluruh hidup
dan rencana kita, tak ada sesuatu pun yang perlu kita takuti dalam hidup dan
karya kita. Tuhan pasti akan membimbing dan mengaturnya dengan baik sesuai
dengan tujuan hidup yang direncanakan-Nya. Orang-orang beriman yang berada di
bawah penindasan pada zaman dahulu pun pada zaman ini, khususnya di
negara-negara komunis, iman mereka semakin berkembang dan kokoh serta berbuah
lebat ketika mereka mengalami penindasan-penindasan itu. Mereka tidak akan
menukar imannya demi kekayaan, nama dan keamanan. Mereka akan berkata: “mati
hari ini dan besok sama saja, asal mati dalam Kristus, tetapi mati hari ini dan
besok demi sesuatu yang lain adalah sia-sia”. Mereka ingat akan
perkataan Kristus sendiri, jika biji gandum jatuh ke dalam tanah dan
mati, ia akan bertumbuh dan menghasilkan semakin banyak gandum dengan buahnya
yang lebat pula.
Paulus
tidak pernah takut pada nasibnya sebagai orang yang terbelenggu dalam penjara,
sebab ia merasa tak bersalah sedikit pun atas pilihan hidup dan pekerjaannya
yang baru: menjadi murid Tuhan dan mewartakan kabar gembira. Maka ia berkata: “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun
juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur.
Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita, karena aku
tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan
pertolongan Roh Yesus Kristus. Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan
ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti
sediakala, demikian pun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam
tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. Karena bagiku hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan”. (Fil 1:18-21). Jika kita membuat statistik
seberapa banyak orang beriman dalam Gereja Katolik yang memiliki iman seperti
Paulus ini, kita boleh berkata: tak terhitung banyaknya, meskipun tidak sampai
30% dari jumlah anggota Gereja yang telah hidup selama 21 abad ini. Ada begitu
banyak orang kudus dan para martir, baik yang tercatat maupun yang tidak, telah
menghayati iman yang demikian, sehingga Gereja Kristus tetap kokoh.
Sebaliknya
ada banyak juga orang beriman yang belum bisa melepaskan kesombongan mereka
untuk mempertahankan statusquo karena jabatan, kekayaan dan kehormatan. Yesus menyindir
tamu-tamu yang masuk ke rumah orang Farisi, yang mengundang-Nya. Ia melihat
para tamu itu datang dengan mencari tempat terhormat dan terdepan. Lalu Ia menyindir
mereka dengan bercerita tentang perumpamaan undangan ke pesta nikah. Ia tutup
perumpamaan itu dengan mengatakan: “Barangsiapa
meninggikan dirinya akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan dirinya akan
ditinggikan” (bdk Luk 14:1.7-11). Orang yang sombong tidak menjadi milik
Kristus tetapi menjadi milik dirinya sendiri. Dalam diri orang seperti ini tak
ada kerelaan dan pengorbanan, bagi mereka mati dinilai sebagai kecelakaan atau nasib buruk. Orang sombong
suka mematikan nasib sesamanya. Mereka menganggap orang lain sebagai musuh dan
harus disingkirkan, sebagaimana mereka menyingkirkan Yesus dari tengah
masyarakat Yahudi. Semua kata-kata dan tindakan Yesus membahayakan kedudukan,
jabatan dan kehormatan mereka.
Mana
yang kita pilih dari antara dua sikap iman yang diuraikan di atas? Tergantung
pada imanmu akan Tuhan yang telah memberi hidup-Nya untuk menghidupkan Anda dan
saya !