Mencari
orang jujur dan bersungguh-sungguh dalam bekerja di negeri ini bagaikan mencari
sebutir pasir berwarna emas di antara sekubik tumpukan pasir. Sukar dan susah
didapat. Terbentuknya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pembertantasan
Korupsi hingga dikeluarkannya perintah Presiden untuk memberantas pungli alias
pungutan liar tidak lain karena kejahatan yang berurusan dengan uang (korupsi
dan pungutan liar) telah menjadi budaya yang terpelihara dengan rapi dan bertumbuh
subur. Budaya malas atau sedikit bekerja bukan lagi dianggap sebagai kelemahan
yang harus diperbaiki tetapi justru menjadi kebanggaan dari banyak orang yang
duduk ongkang-ongkang baik pada kantor pemerintah dan maupun swasta. Namun di
balik kemalasan itu nafsu untuk mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal
justru menjadi kesenangan dan kesempatan untuk memperoleh kekayaan. Mau kaya
tetapi dengan cara yang tidak jujur. Mereka ingin jadi kaya di atas kemalasan, tetapi
kuat menghitung jasa meskipun punya gaji. Uang pungli dipoles menjadi uang
jasa, uang korupsi dibilang uang lelah. Saya teringat akan syair sebuah lagu
yang berbunyi: memang lidah tak bertulang
tak terbatas kata-kata. Ya, orang tidak jujur pandai bersilat kata demi uang
yang tidak halal.
Sebagai
pengusaha meubel, Presiden Jokowi telah mengalami bagaimana ia berhadapan
dengan urusan ekspor impor. Ia tahu di sana banyak lidah tak bertulang demi membuat
saku menjadi tebal. Ketika menjadi Presiden yang ia tertibkan pertama-tama
adalah urusan dwelling time di
pelabuhan. Penertiban ini sesuai juga dengan visi misi pemerintahannya: gerakan revolusi mental. Melayani dengan
cepat supaya perputaran ekonomi lancar dan cepat. Perbuatan atau sifat tidak
jujur berhubungan dengan mental yang buruk.
St.
Paulus tahu bahwa kalau hidup manusia ditandai oleh ketidakjujuran maka
rusaklah seluruh daya dan semangat orang bersangkutan untuk menjadi orang baik.
Tidak jujur adalah sebuah lubang atau kelamahan yang membuka banyak dosa. Karena
itu ia menasihati Titus dengan mengatakan: “Hendaklah
engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela
dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk
yang dapat mereka sebarkan tentang kita” (bdk Tit 2:1-8;11-14). Dua hal
penting yang patut dipegang di sini: Pertama, kejujuran adalah sebuah senjata
untuk mengalahkan musuh. Kedua, kejujuran adalah sebuah alat atau tongkat yang
kita pakai untuk mencapai semua tujuan yang baik dari cita-cita dan perjuangan hidup
kita.
Kejujuran
pada zaman hidupnya Tuhan Yesus sungguh dihayati oleh para hamba yang bekerja melayani
pada tuan mereka. Para hamba selalu siap untuk mengerjakan apa saja yang
diminta ataupun tidak diminta oleh tuan mereka, kapan saja dan di mana saja. Pengabdian
para hamba ini tulus sebab mereka karena baik buruknya nasib hidup mereka
sungguh bergantung pada tuan mereka masing-masing. Karena itu Tuhan memberi
nasihat demikian: “Apabila kamu telah
melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami
adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus
lakukan." (bdk Luk 17:7-10). Dalam kalimat hamba yang tak berguna
sesungguhnya tersirat secara implisit tentang tuntutan kejujuran bagi seroang
hamba, yaitu melakukan apa yang harus dilakukan, tanpa berpikir tentang jasa,
uang tip, dsb.
Orang
jujur sukar dicari tetapi kejujuran seorang bisa mengubah negeri menjadi makmur
dan mengubah duka menjadi sukacita sebab hidup mereka membuat banyak orang bisa
menikmati rahmat surgawi yang tak pernah kering.