Menyaksikan
semakin maraknya gejala-gejala kekerasan karena masalah SARA, ajakan melihat
sesama sebagai saudara semakin dipertanyakan. Apa kita masih mau bersikap
seperti itu kalau semakin dibenci dan dinilai jahat oleh sesama? Efek buruk
dari masalah sara ini semakin hari semakin buruk saja sehingga ada banyak orang
yang dulunya sangat akrab dan bersahabat kini kelihatan mulai menjadi renggang dan
penuh rasa curiga. Semangat hidup berdampingan sebagai saudara pelan-pelan
terkikis dan beralih menjadi hidup berdampingan sebagai “musuh”. Kalau kata musuh
ini terus menerus bergulir seperti bola liar atau menjadi viral melalui dunia
maya, maka semua semboyan baik yang terpelihara selama puluhan tahun melalui
perjuangan bersama akan runtuh seketika. Negeri ini bukan menjadi kaya raya
lagi tetapi menjadi miskin dalam cinta persaudaraan. Kemiskinan dalam cinta
adalah kemiskinan terburuk dalam hidup manusia sebab ia akan merusak seluruh
tatanan hidup berbangsa dan bernegara dengan segala budayanya yang indah dan
mengagumkan selama ini. Pertanyaannya, relakah kita membiarkan hal ini terjadi?
Sebagai orang baik dan masih berpikir jernih, lurus, kudus dan jujur, kita akan
berkata dan berdoa: Tuhan bebaskan kami dari godaan dan ancaman ini !
St.
Paulus mempunyai anak angkat bernama Onesimus. Ia adalah budak yang dibawa
Paulus ke Roma guna melayani Paulus dalam pelbagai pekerjaannya. Namun sebagai
orang baik Paulus tidak memperlakukan dia sebagai budak melulu, namun mengajar
Onesimus untuk mengetahui Yesus Kristus secara lebih mendalam dan kemudian bisa
diutus menjadi pewarta kabar gembira. Karena itu pekerjaan pertama yang
dilakukan Paulus atas Onesimus adalah membebaskan dia dari status budak. Ketika
status budak dicabut maka bebaslah Onesimus dan menerima status orang merdeka. Dia
dipandang menjadi sebagai saudara seiman dengan hak dan kewajiban yang sama di
hadapan Tuhan. Hal ini sangat penting karena Onesimus tidak lagi dianggap kafir
atau orang asing yang diremehkan tetapi sebagai saudara dalam Kristus. Karena itu
ketika dia diutus pulang ke Israel, ia diterima secara penuh sebagai saudara di
antara para pengikut Yesus Kristus (bdk Flm 1:7-20). Menerima orang lain sebagai
saudara adalah tanda khas kekristenan. Tanda khas ini kemudian menjadi semangat
baru yang mendorong semua pengikut Kristus di dunia untuk melihat dan menerima
siapa saja dalam kasih persaudaraan. Walau banyak tantangannya tetapi maju perlahan-lahan
sampai kemudian dideklarasikan dalam Dekrit PBB dalam thema tentang hak-hak
azasi manusia.
Deklarasi
Hak-Hak Azasi Manusia ini sesungguhnya bisa dinilai sebagai salah satu tanda
hadirnya Kerajaan Allah di dunia (bdk Luk 17:20-25). Sebab deklarasi ini telah membantu banyak
negara di dunia menjadi negara merdeka termasuk Indonesia. Oleh deklarasi ini
para penjajah di banyak negara dunia menarik diri dari negara yang mereka jajah
dan membiarkan negara bersangkutan merdeka. Dengan memberikan kesempatan
merdeka seperti itu maka warta tentang persamaan hak dan hidup dalam kasih
persaudaraan semakin mengkristal dalam hati setia insan yang ingin hidup damai
di dunia ini. Semua bangsa bisa diajak untuk bekerja sama membangun dunia
menjadi lebih baik, bebas dari egoisme suku, bangsa dan negara. Semua bangsa
bersatu bahu membahu menlong sesama yang menderita karena kelaparan, penyakit
dan bencana alam. Semakin banyak orang bergabung dalam badan amal domestik maupun
internasional untuk membantu. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dalam
peristiwa bencana gempa bumi dahsyat di Aceh pada tahun 2004 atau sekarang
bencana kemanusiaan yang menyebabkan begitu banyak pengungsi dari negara-negara
timur tengah menuju Eropa. Mereka semua diterima dengan baik tanpa melihat
agama. Mereka hanya orang yang menderita itu adalah sesama yang patut
diselamatkan sebab mereka adalah manusia, citra Allah. Amin