Seorang petani professional, entah
karena berpengalaman bertani atau karena pendidikan yang memadai, pasti tahu
bagaimana caranya mereka menyiapkan tanah yang baik untuk menanamkan benih yang
baru ke dalamnya sehingga benih itu dapat bertumbuh dan berkembang subur dan
menghasilkan banyak buah. Setelah benih bertumbuh mereka juga tahu bagaimana
merawatnya, membersihkan rumput, menyiram pupuk, mematikan hama dst, sehingga
bisa menikmati panen yang subur.
Petani Israel pada zaman Yesus hidup rupanya
memiliki cara yang berbeda dengan petani professional di atas, ketika menanam benih. Mereka tidak menyiapkan tanahnya lebih dengan mencangkul atau
membersihkannya, tetapi mereka menabur saja dan membiarkan benih itu tumbuh
begitu saja secara alamiah. Karena itu tidak heran kalau benih itu jatuh begitu
saja, di tanah pinggir jalan yang keras, di tanah berbatu, di tanah bersemak duri
dan lainnya di tanah yang subur. Saat panen, mereka hanya memetik hasil dari
tanah yang subur. Yesus tahu sistim pertanian itu dan ia menceritakannya kembali
dalam pengajaran-Nya hari ini untuk menggambarkan suasana hati para
pendengarnya saat mereka mendengarkan sabda Tuhan dalam pengajaran-Nya pun dari
pembacaan Kitab Suci Perjanjian Lama di sinagoga dan kenisah (Mat 13:1-23). Keadaan
tanah yang ditaburi benih itu melambangkan suasana hati manusia.
1) Tanah pinggir
jalan:
itu melambangkan suasana hati manusia yang keras dan menolak benih sabda karena
burung-burung (setan) langsung memakannya.
2)
Tanah bersemak: melambangkan
hati penuh noda dosa dan tidak mau bertobat sehingga benih sabda tumbuh sebentar
saja kemudian layu dan mati sehingga tidak menghasilkan pertobatan.
3) Tanah berbatu: melambangkan
hati yang dengki sehingga mereka tidak membiarkan benih sabda itu berakar dan
bertumbuh. Hati mereka tak berubah.
4) Tanah yang subur: menggambarkan
kerendahan hati manusia yang suka mendengar, menyimpannya dalam hati baik-baik
sehingga sabda itu menghasilkan buah-buah kebajikan yang membuat seseorang
hidup dengan sukacita.
Allah sumber sabda dan kehidupan ini,
selalu berusaha memelihara iman, harap dan kasih manusia dengan mencurahkan
rahmat-Nya secara berlimpah-limpah. Nabi Yesaya menggambarkan curahan rahmat
itu seperti hujan dan salju yang turun membasahi bumi, membuat bumi ini subur
dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan agar menghasilkan panen yang berlimpah-limpah
(Yes 55:10-11). Allah kaya dengan rahmat dan kasih-Nya, Ia memberikan semuanya
tanpa mengharapkan balasan kita selain mendengar Dia, taat kepada-Nya agar
hidup kita terpelihara dalam damai dan sukacita.
Mengapa selalu ada penderitaan? Menurut St.
Paulus hari ini, penyebab utama dari penderitaan itu tidak lain dari pada sikap
hidup manusia yang tidak mau mengubah hatinya untuk menerima rahmat sabda
Tuhan. Sabda Tuhan itu jalan, kebenaran dan hidup, namun manusia tidak mau
menjadikan hatinya sebagai tanah yang subur supaya rahmat sabda itu bisa
bertumbuh, berkembang dan berbuahkan kebajikan-kebajikan yang selaras dengan
kehendak Allah. Akhirnya manusia membiarkan dirinya seperti tertimpa sakit
bersalin terus menerus dan bergumul menantikan kelahiran anaknya, yang mungkin
tidak jadi lahir tetapi mati dalam kandungan ibunya.
Karena itu resep yang ditawarkan Tuhan
hari ini supaya hidup ini penuh dengan buah kebajikan, kebaikan dan kebahagiaan
adalah “menjadikan hati sebagai tanah yang subur” bagi sabda Tuhan. Dalam bahasa
religiusnya, mari mengolah hati dan menyembuhkan semua luka-lukanya agar hati
itu sembuh dan subur bagi bertumbuhnya rahmat Allah. Amin