Pada masa awal perjanjian baru belum
terdengar pembelaan terhadap hak azasi manusia bahkan hingga ratusan tahun
sesudahnya. Para raja dan penguasa dapat sesuka hatinya melakukan tindakan
semena-mena terhadap siapa saja yang menentang dan mengeritik kebijakan mereka.
Hukum dan keadilan bukan ditentukan oleh prinsip kebenaran dan keadilan tetapi oleh
kekuasaan para penguasa. Karena itu banyak orang menderita dan mati akibat
ketidakadilan dan kekejaman penguasa.
Contoh paling nyata dari gambaran di
atas diceritakan oleh Injil hari ini. Raja Herodes merayakan ulang tahun usia. Puteri
raja menyajikan tarian yang sangat memukau sang raja dan para tamu undangan. Bersumpahlah
raja untuk memberikan harta apa saja bahkan setengah dari kerajaan sekalipun. Mendengar
sumpah ini Herodias melampiaskan dendamnya dengan meminta kepala Yohanes Pembaptis
sebagai hadiahnya. Hadiah yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Nasib sang
nabi berakhir di tangan sang algoju. Kepala sang nabi menjadi imbalan gerak
tari sang puteri. Sangat tidak masuk akal tetapi begitulah kenyataan yang
terjadi dalam dunia ini (bdk Mrk 6:17-29).
Ketika nabi Yeremia mulai melaksanakan
tugas kenabiannya, ia ditantang oleh bangsanya sendiri. Namun Tuhan menguatkan
dia dengan pesan: “Baiklah engkau
bersiap, bangkitlah dan sampaikanlah kepada mereka segala yang Kuperintahkan
kepadamu. Janganlah gentar terhadap mereka, supaya jangan Aku menggentarkan
engkau di depan mereka”! (bdk Yer 1:17-19). Tugas nabi tidak mudah karena
dia diutus untuk meratakan yang lekak lekuk dan merluruskan jalan yang bengkok,
mengingatkan manusia agar selalu taat pada Tuhan, nabi harus berani melawan
ketidakadilan yang dilakukan oleh siapa pun, nabi bertugas menobatkan manusia
yang berdosa agar berbalik ke jalan yang benar. Taruhan tugas sang nabi adalah
nyawanya, sebab banyak orang di dunia ini tidak suka ditegur atau dikeritik, tidak
suka dinasihati sebab merasa diri hebat, pintar.
Hingga abad ini di mana-mana masih
terdapat tindakan-tindakan yang tidak adil yang dilakukan oleh manusia, para
penguasa. Yang lemah dan tak berdaya selalu menjadi korbannya. Untuk mengatasi
situasi ini Gereja mendirikan Komisi JPIC (Justice Peace and Integrity of
Creation), guna menolong orang-orang yang tertindas dan tak berdaya sekaligus
memperhatikan keutuhan ciptaan dan menjalin persahabatan dengan lingkungan
hidup. Kesadaran ini mengingatkan kita akan kasih dan kebaikan Tuhan yang
selalu menyertai kita. Meskipun ketidakadilan selalu ada, namun kita jangan pernah
berhenti untuk mengusahakan dan memperjuangkan keadilan dan perdamaian itu. Jangan
takut untuk menjadi Yohanes Pembaptis yang lain.