Kita sering kagum pada sesama yang
hidupnya benar dan saleh, terutama pada mereka yang sering bermeditasi dan
berdoa. Dari wajahnya kita bisa melihat adanya aura kesalehan itu, seperti
misalnya adanya cahaya keceriaan, damai dan ketenangan. Kita suka melihat
mereka.
Tuhan Yesus, sebagai Anak Allah, dalam
keseharian-Nya di tengah para murid dan orang banyak telah menampakkan aura
kesalehan itu. Kemana saja Ia pergi dan berada, Ia selalu dikelilingi oleh
begitu banyak orang, dalam bahasa Kitab Sucinya “berbondong-bondong” orang
mengikutinya. Namun pada suatu saat Ia ingin naik gunung, Ia hanya mengajak
tiga murid menyertai-Nya yakni: Petrus, Yakobus dan Yohanes. Di depan mata
mereka, di puncak gunung itu, Ia berubah rupa, wajah-Nya tampak bersinar
seperti matahari dan pakaiannya putih bersinar seperti terang. Sebuah
penampakan yang aneh tetapi mengagumkan.
Pada yang sama mereka melihat Dia sedang
berbicara dengan Musa dan Elia. Pemandangan yang mulia itu menimbulkan
kebahagiaan yang amat sangat bagi ketiga murid itu, sehingga tanpa sadar Petrus
meminta Yesus supaya mereka membangun tiga kemah di tempat itu. Sementara
berkata demikian, tiba-tiba mereka mendengar suara yang berkata: "Inilah Anak yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." Mendengar suara itu
ketiganya ketakutan. Tetapi Yesus menenangkan mereka dengan pesan-pesan
tertentu, terutama agar tidak menceritakan pengalaman itu kepada siapa pun (Mat
17:1-9).
Pengalaman yang mengagumkan itu membuat
Petrus dan dua murid lainnya merasa bahagia dan nyaman. Hal itu diungkapkan
Petrus dengan mengatakan: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat
ini”. Dengan kata lain, Petrus ingin tinggal di situ, dia tidak ingin pulang,
bahkan ia ingin mendirikan tiga kemah di situ. Pengalaman ini dalam hidup
teologi disebut “fascinosum et tremendum” – mengagumkan dan menggetarkan
seluruh jiwa raga. Menimbulkan rasa takut suci, tidak ingin melepaskannya kembali.
Sama halnya dengan pengalaman orang-orang lain, ketika mengalami sentuhan
rahmat Allah yang khusus, pengalaman itu akan sulit dilupakan dan mereka selalu
ingin tinggal bersama-Nya. Pengalaman yang sangat mengobarkan semangat !
Dalam suratnya hari ini Petrus
menceritakan lagi pengalaman itu sebagai pengalaman yang mengesankan dan yang
membuat dia selalu hidup dalam harapan akan sesuatu yang baik (2 Petr 1:16-19).
Tuhan selalu menyediakan atau mengerjakan yang terbaik bagi kita, sehingga ia
mengajak para pembacanya supaya percaya kepada kesaksiannya. “Alangkah baiknya kalau kamu
memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat
yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam
hatimu”.
Pengalaman Petrus tentang kemuliaan
Allah juga dialami oleh nabi Daniel dalam perjanjian lama. Pengalaman kehadiran
Allah bukan isapan jempol tetapi sebuah pengalaman nyata yang bisa dirasakan
dalam hidup ini. Kita bisa menciptakan kehidupan surga jika saja kita selalu
taat pada kehendak Allah. Tuhan sudah menunjukkan kepada kita bahwa Yesus itu,
Anak yang dikasihi-Nya, dan Allah berkenan kepada-Nya. Semua orang yang percaya
kepada Allah bisa mengalami kemuliaan Allah, bila mereka mau mendengarkan Yesus
dan taat kepada-Nya.