Yang amat menarik
bagi saya mengenai pandangannya tentang perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung, yaitu bagaimana Yesus dengan sempurna
menjalankan tugas penebusan melalui korban tubuh dan darah-Nya di kayu salib,
yang dimeterai-Nya lebih dahulu dengan mengadakan sakramen ekaristi pada
perjamuan terakhir bersama para murid-Nya. Beliau menekankan bahwa "inilah
kurban yang paling sempurna menggantikan semua kurban perjanjian lama (darah
binatang). Dengan wafat-Nya Yesus di kayu salib semua kurban perjanjian lama
tidak berlaku lagi. Tetapi kalau kita orang
katolik masih kembali kepada kurban perjanjian lama, itu adalah perbuatan berhala
dan sama sekali tidak dibenarkan". "Saya mendengar di Manggarai
tampaknya ada semangat menghidupkan lagi kurban perjanjian lama, karena alasan
budaya, inkulturasi, demi menghormati adat nenek moyang". Menurut saya lanjutnya,
"alasan itu tidak benar, nenek moyang kita sudah mati, mereka tidak mengenal
Yesus Kristus. Tugas kita adalah mendoakan mereka agar mereka selamat, bukannya
menghormati mereka lebih dari Yesus Kristus, yang satu-satunya jalan keselamatan.
Kalau kita sebagai imam perjanjian baru, yang menyandang gelar sebagai "alter Christus"
masih mempertahankan itu, apa gunanya Anda sebagai imam yang ditahbiskan untuk membawa kurban
Kristus? Itu berarti Anda tidak percaya bahwa imamatmu jauh lebih tinggi dari
adat istiadat nenek moyangmu. Para imam itu adalah pengajar kebenaran,
hendaknya kita tidak bersikap abu-abu dalam menyampaikan ajaran yang benar,
jangan mengorbankan ajaran Gereja yang benar demi menghormati perasaan manusia,
bukankah Gereja melarang kita tidak mengajarkan hal-hal yang sifatnya
"dualis dan sinkretis" dalam hidup iman katolik", tandasnya penuh semangat. Saya menyimak
dengan baik pendapat ini karena kebenaran itu jugalah yang selalu saya wartakan
selama 32 tahun dalam imamat.
Hanya
dalam Yesus, demikian tandas Petrus di depan majelis agama yang mengadili dia
dan Yohanes. Para majelis agama menangkap kedua rasul itu karena mengajar
tentang nama Yesus yang telah membuat si lumpuh itu sembuh dan bisa berjalan.
Mereka melarang kedua rasul itu agar tidak boleh lagi mengajar tentang nama
Yesus. Tetapi jawab Petrus, penuh dengan Roh Kudus: "Hai pemimpin-pemimpin
umat dan tua-tua, jika kami sekarang harus diperiksa karena suatu kebajikan
kepada seorang sakit dan harus menerangkan dengan kuasa manakah orang itu disembuhkan,
maka ketahuilah oleh kamu sekalian dan oleh seluruh umat Israel, bahwa
dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah
dari antara orang mati -- bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri
dengan sehat sekarang di depan kamu. Yesus adalah batu yang dibuang oleh
tukang-tukang bangunan -- yaitu kamu sendiri --, namun ia telah menjadi batu
penjuru. Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun
juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain
yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan."
(Kis 4:8-12).
Sejauh
kita membaca Kisah Para Rasul, Petrus dan rasul-rasul lainnya selalu
menandaskan hal yang sama dalam pengajaran mereka kemana saja mereka pergi.
Setiap hari semakin banyak orang yang percaya dan membentuk komunitas jemaat
perdana. Komunitas perdana ini sangat teguh mengimani Kristus sehingga di saat
mereka mendapat perlawanan dan penganiayaan, mereka tetap saja bertahan, mereka
tidak takut sedikit pun pada ancaman penangkapan, penganiayaan dan penyiksaan
kejam dari para musuh kekristenan awal, bahkan mereka siap menjadi martir.
Keyakinan yang teguh dari para rasul untuk mengajarkan tentang kebenaran ini
tidak lain berasal dari pengalaman kehadiran Yesus sesudah kebangkitan-Nya dari
antara orang mati. Perjumpaan dengan Yesus sesudah kebangkitan melekat sedemikian
kuat dalam mereka, karena Yesus sungguh-sungguh
hadir di tengah-tengah mereka seperti sebelum wafat-Nya.
Yesus
menyuruh mereka menangkap ikan di danau Galilea seperti cerita Injil hari ini,
membuat mereka semakin terpesona dengan kehadiran-Nya sehingga tak satu pun
dari antara mereka yang sanggup bertanya, siapakah Engkau? Lalu Yesus memberi mereka
roti dan ikan dan mereka boleh menikmati sarapan bersama pada pagi itu. Pengalaman
akan kehadiran Tuhan dalam pelbagai cara sesudah kebangkitan-Nya, semuanya
bertujuan untuk meneguhkan hati para murid bahwa Dia bangkit dan hidup,
sehingga para murid tak perlu bersedih atau berkecil hati dengan kehilangan-Nya
dari antara mereka. Sebaliknya, pengalaman menyaksikan kebangkitan Yesus harus
menjadi pokok pewartaan mereka kepada orang lain, bahwa Allah telah mengutus
Yesus Kristus sebagai Juru Selamat, dan Dialah satu-satu jalan keselamatan itu.
Di luar Yesus tak ada jalan keselamatan yang lain. Pokok pikiran inilah yang
disampaikan Petrus dalam kotbahnya di depan para majelis pengadilan agama itu.
Dengan demikian pewartaan nama Yesus dengan karya-karyaNya semakin luas
tersebar di antara orang Yahudi.
Re-evangelisasi
atau evangelisasi baru di abad ini justru mendorong kita semua untuk semakin
mewartakan kehadiran Yesus Kristus Sang Penyelamat, sambil memasukkan
unsur-unsur inkulturatif yang pas sesuai dengan ajaran iman kita, bukannya
kembali ke adat istiadat perjanjian lama.